About Me:

Saya adalah seorang manusia gila yang terlalu banyak uneg-uneg & obsesi yang belom tercapai. Sebagian orang menilai saya adalah orang yang sedang mencari jati diri. Pernyataan tersebut hampir betul dikarenakan sedikitnya waktu bagi saya untuk menemukan apa yang saya benar2 inginkan dalam hidup ini. Tak ada ruang untuk berekspresi, berkreasi, dan menjadi gila di dunia yang naif ini. Alhasil, terciptalah saya sebagai pribadi yang terkesan eksplosif, dableg & sering keluar dari jalur. Kebahagiaan & kesenangan yang saya rasakan pun terkadang tidak pernah bisa dibagikan dengan orang lain, padahal Chistopher McCandless berpesan di akhir hayatnya: "Happiness only real when it shared". Untuk itulah blog ini tercipta, ga masalah orang2 yang baca mo menanggipnya atau tidak, ga masalah jika para pembacanya menjadi antipati atau termotivasi karena topiknya, yang penting saya sudah berbagi supaya ada sedikit cahaya kebahagiaan dalam hidup saya ini.

Jumat, 03 Juli 2015

Dagangan Bapak Saya

Perjalanan kali ini menceritakan saya yang sudah sampai di tangerang. Cerita tentang Bali nya akan saya lanjutkan lagi di postingan berikutnya. Sampai di rumah sekitar jam 2 siang, saya sempat dihadang oleh tetangga yang lagi ngerumpi duduk2 di luar rumah, suatu kebiasaan yang sudah dari dulu dilakukan di lingkungan rumah. Mereka antusias menanyakan apa kabar saya di Ausi dan berapa lama liburan di Indo. Yang lainnya ada yang bercerita pengalaman dirinya di Amerika dan sempat beberapa waktu tinggal di Sidney.

Karena sudah hampir sore juga, tak banyak yang bisa kami lakukan. Akhirnya saya dan adik menghabiskan hari itu dengan ngabuburit bersama peserta2 lainnya di jalanan. Lebih tepatnya di area jajanan pasar yang pastinya padat luar biasa.

Karena papa saya punya dagangan juga di area ini, atau bahasa lainnya papa saya juga jualan pake gerobak di area ini, jadi kami punya tempet nongkrong yang nyaman banget di tengah kepadatan penduduk Taman Cibodas (nama perumahan nya) mencari sesuatu untuk buka puasa mereka sambil ngabuburit.

Ditemani adik laki2 saya, kami saling bercerita tentang apa saja yang terjadi selama 2 tahun belakangan ini. Dia yang sudah menetap di Pontianak pun menceritakan tentang dagangan papa kami yang akan laris manis lagi kalo dibuat lebih legit dengan menambahkan mentega lebih banyak. Papa kami jualan Martabak Mikro, begitu Dia menamai jajanan nya yang seharga rakyat menengah kebawah, yakni Rp 3.000 karena memang ukurannya bisa seperempat lebih kecil ketimbang martabak ukuran normal. Namun soal kualitas produk, ga kalah sama martabak ukuran besar yang biasa abang2 jual dengan slogan "Martabak Bangka".

Sambil menikmati 'keributan' suasana nongkrong kami, saya pun mencicipi martabak mikro ini. Memang betul rasa dari adonan martabaknya sekelas dengan martabak yang ukuran besar. Namun sayang isinya terasa kurang buat saya. Misalnya yang rasa coklat keju, rasa kejunya amat tipis dan kurang. Apalagi rasa coklatnya, aduh gmn ya. Menurut saya sih ga kaya rasa coklat. Setelah saya cek memang mereknya ga jelas, B9. Belom pernah denger saya merek coklat tabur seperti itu. Yang saya tau biasanya merek Ceres.

Ada rasa lain yang tidak pernah ada didalam sejarah per-martabak-an di Indonesia, yakni rasa Blueberry. Setelah saya cicipi, selai Blueberry nya memang enak namun sayang, terlalu tipis. 

Rasa lainnya lagi adalah rasa kacang. Nah rasa inilah yang paling laris manis di dagangan papa saya. Saya belum sempat mencoba rasa ini dikarenakan gigi saya bolong dan belum sempat ditambal. Ga mau nuansa ngabuburit ini terganggu dengan ganjalan gacang di gigi, jadi saya urungkan niat mencicipi yang kacang.

Sebagai anak si penjual otomatis tanpa disuruh apalagi diminta saya langsung mengkritik Martabak Mikro ini terutama dari segi isinya yang kurang berkualitas. Papa saya sudah punya jawabannya atas kritik yang saya sampaikan. Artinya memang dia menyadari isinya kurang berkualitas. Jawabannya cukup masuk akal, karena fokus pangsa pasarnya adalah menegah ke bawah. Kalo isinya dibikin berkualitas, dia harus naikin harganya jadi Rp5.000 per buah. Jual di harga 3 ribu aja kadang kagak habis, kalo jual 5 ribu, siap2 aja bangkrut karena ga ada yang beli.

Memang bener aja. Dengan harga 3 ribu pun masih ada yang nawar lho minta harganya diturunin. Atau mereka bernegosiasi dengan membeli 2 jadi 5 ribu. Maklumlah namanya juga pembeli, hak mereka untuk menawar. Cuma kadang lucu ada yang tetep ngotot walau ga dikasi. Tetep nawar sampe dikasi.

Saya dan adik yang cuma duduk sambil menyimak papa kami berjualan dan menanggapi setiap pembeli bisa merasakan kehangatan suasana ini. Nuansanya unik dan menarik bagi saya. Saya pun melihat papa kami lebih hidup, lebih antusias, dan lebih happy. Beberapa orang memang seperti papa saya. Kalo ketemu dan ngobrol sama orang banyak lebih seneng ketimbang duduk santai di rumah. Padahal untuk bisa berjualan dia harus mendorong gerobaknya dulu ke area ramai. Sekalian olahraga katanya santai dan senang karena badannya lebih kurus ketimbang beberapa tahun yang lalu.

Selasa, 30 Juni 2015

Mari Cintai Indonesia

Perjalanan selanjutnya setelah selesai dan puas dengan hiburan tarian Barong dan Kris, kami berlanjut ke sebuah tempat kerajinan perak bernama ANOM di daerah Gianyar. Saya sempat menyakan ke pak Gusti sang sopir, kenapa memilih toko ini ketimbang toko lain. Jawabannya adalah toko ini bisa kasi diskon sampai dengan 40% untuk orang Indo tapi hanya maksimal 20% untuk orang asing. Karena setiap sopir yang bawa orang asing, sopirnya dapet jatah untuk setiap penjualan perak yang terjadi. Jadi pihak toko harus membagi keuntungannya dengan sopir. Saya sekalian promosiin ANOM ini buat yang tertarik beli perak Bali. Saya ga dapet cipratan apa2 lho dari pihak toko. Sungguh... Hanya sekedar menginfokan buat teman2 yang mau ke Bali dan tertarik dengan kerajinan perak mungkin sebaiknya beli di sini. Kalo ada yang tau lebih baik, bisa di share di kolom komentar, supaya para pembaca lainnya bisa lebih tau.

Ada perbedaan harga antara orang lokal dengan orang asing. Bukan hanya dari segi harga barang dagangan saja melainkan harga tiket masuk tempat wisata pun ada perbedaan yang signifikan. Terlebih dari itu cobalah berpikir 2x sebelum membeli barang dagangan merek asing, mari cintai produk kita sendiri. Mari cintai Indonesia

Setelah puas liat2 kerajinan perak dari cincin, anting2, sampe hiasan pajangan di rumah seperti kereta kencana, sumpit, patung2, dll kami meluncur ke daerah Kintamani untuk mencari makan siang. Dalam perjalanan cukup menggugah hati dikarenakan banyak sekali sawah2 bertingkat yang dulu sering saya lihat di buku pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Aneh ya pemandangan sawah kok adanya di buku sejarah. Mungkin karena pada jaman perjuangan suasananya masih asri dan asli, sawah2 yang bertingkat menghampar luas. Aduh, Indonesia tak mungkin lagi bisa seperti itu. Saya yakin Bali pun akan menyusul karena menurut penuturan pak Gusti, banyak orang2 asing yang menyewa tanah sawah sepanjang jalan yang kami lewati tersebut. Rata2 mereka adalah orang Amerika. Dikarenakan mereka orang asing, mereka ga diperbolehkan untuk mempunyai properti di Indonesia, jadi hanya bisa menyewa.

Orang2 asing ini cukup berani mengambil resiko. Hanya dengan menyewa tanah/sawah dari orang lokal, mereka membangun rumah yang berisi 4-5 kamar tidur. Setelah rumahnya jadi mereka sewakan bangunan tersebut ke pengunjung yang sebagian besar adalah orang asing juga. Lalu orang lokalnya dapat apa? Dapet sebesar uang sewa tanah yang tak seberapa karena di situ masih desa. Lalu orang bule nya dapet duit berapa? Dapetnya bisa 4-5x lipat dalam sebulan karena vila atau rumah sewaan yang disewakan menawarkan pemandangan desa yang asri dan sawah berterasering.

Walau judulnya pariwisata adalah sarana pendapatan devisa daerah, ternyata ga 100%  semua aspek masuk ke kantong penduduk lokal. Orang asing pun yang telah tinggal lama di Indonesia mampu membaca situasi hukum yang kurang kuat sehingga mereka berani mengambil resiko untuk mendapatkan sedikit “cipratan” dari keindahan negeri ini. Memang persentasenya masih kecil, namun jika dibiarkan akan semakin banyak orang2 asing yang ikut2an dan mungkin akan mencaplok bidang lain.

Indonesia masih tereksploitasi oleh negara asing. Kalo Papua dieksploitasi emas dan uraniumnya di Bali bidang pariwisatanya. Karena memang hanya bidang pariwisatalah sumber devisa bagi Bali.Mari cintai Indonesia.

Kalo saya pulang ke Tangerang, yang akan saya temui di jalanan sebagai hewan liar adalah kucing. Dimana2 kucing, dari sudut kota sampai pelosok kampung tangerang. Lain lagi kalo di Ausi, dimana2 burung Camar dan Gagak. Camar untuk hewan liat sekitar pantai sementara Gagak hewan liat yang jauh dari pantai. Tapi berbeda di Bali ini, hewan liarnya adalah anjing, tepatnya jenis Kintamani yang merupakan anjing pegunungan sekaligus pekerja yang bisa diandalkan untuk menjaga rumah.

Anjing Kintamani menurut saya badannya mirip dengan anjing kampung, tapi kepala dan telinganya mirip anjing Hachiko. Duh jenis apa ya anjing Hachiko ini? Saya Cuma tau nama anjingnya Hachiko karena cerita tentang kesetiaannya udah mendunia. Sampai dibuat versi Holiwoodnya yang dimainkan Richard Gere. Denger2 sih anjing Kintamani ini sejak 1994 sudah disahkan menjadi anjing khas Bali dan sudah mendapatkan pengakuan dunia. Tapi perihal kebenarannya saya kurang tau, mungkin bisa dicek di internet.

Dimana2 terdapat hewan liar. Beda tempat beda pula hewan liarnya. Suatu keunikan tersendiri yang patut dibanggakan oleh kita sebagai anak negeri. Mari cintai Indonesia.

“...Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat dan kayu pun jadi tanaman” Ada yang masih ingat ini kutipan dari mana? Sebelum saya beri tahu jawabannya silahkan berpikir sejenak untuk mengingat2. Sebuah grup musik yang cukup ternama di jaman orangtua saya dulu dengan musik2 pop mereka yang membuat hit semua. Koes Plus dengan lagunya “Bukan lautan hanya kolam susu”. Betul sekali dan saya setuju dengan syair yang mereka buat. Negeri kita seperti surga apapun bisa jadi uang, apapun bisa jadi ‘tanaman’.

Di Bali ada banyak tempat kerajinan yang sangat menggugah hati saya. Dari kerajinan batu sampai kayu. Salah satunya juga adalah kerajinan perak yang sudah saya jelaskan di atas. Tapi kali ini saya mau menceritakan kerajinan kayu yang menurut saya butuh imajinasi yang kuat dalam memanfaatkan sumber alam seperti akar2 pepohonan dengan meminimalisir pemotongan dan memaksimalkan bentuk asli dari akar2an tersebut menjadi sebuah mahakarya dari binatang, hewan aneh, manusia, ataupun dewa.


Indonesia adalah negeri dengan kreatifitas tinggi, sayang tak banyak anak muda yang menyadari. Sampai mereka harus miris hati dalam mencari sesuap nasi. Padahal ‘lubangnya’ ada di sebelah sisi, hanya cukup menggeser visi. Mari cintai Indonesia.

Sabtu, 27 Juni 2015

Tari Barong dan Kris

2 tahun tak bersua dengan orang tua kami masing2, kami mengatur pertemuan yang dimulai di Bali supaya punya waktu lebih banyak untuk bersama, karena masing2 kami hanya akan menghabiskan waktu 1 minggu di kota masing2 dari 3 minggu liburan. Sayang papa saya ga mau ikut. Entah apa alasan utamanya tapi saya lebih memilih fokus sama yang ada di depan mata saya saja.

Kami mengawali perjalanan di Bali dengan mengunjung sebuah pusat tarian dan kesenian Bali yang cukup terkenal. Tempatnya sendiri memang yang paling sering dikunjungi dikarenakan posisi tempatnya yang pertama di sepanjang jalan ini yang membuka tempat kesenian yang sama. Beralamatkan di jalan Waribang, Kesiman, sepanjang jalan ini ramai sekali orang2 lokal Bali membuka sebuah area kesenian tarian tradisional, jadi kalo pas bubaran acara, bisa macet.  Nama tempatnya adalah CV Catur Eka Budhi yang menampilkan tarian Barong dan Kris, begitu temanya.

Kalo dari penampakannya kira2 80% penonton adalah manusia dari luar Indonesia. Ini tidak termasuk wajah2 oriental yang bermata sipit, karena saya ga tau mereka orang Indo atau bukan. Bisa saja mereka dari Jepang, seperti kebanyakan yang sering saya temui dan dari penuturan sang sopir, pak Gusti, bahwa banyak sekali orang Jepang yang datang ke Bali hanya untuk belajar nari. Ketertarikan mereka akan kesenian Bali sangat besar. Karenanya orang Bali selain jago bahasa Inggris, biasanya mereka juga fasih berbahasa Jepang. Terutama mereka2 yang bekerja di bidang kesenian tarian ini.

Dari kursi penonton jika kita melihat ke arah pojok kiri, akan terlihat 1 grup pemain musik dari kulintang, gendang, dan gong. Alat musik tradisional yang sudah barang tentu generasi kita 95% tidak tertarik untuk menyentuhnya apalagi mempelajarinya. Kebanggaan akan kekayaan negeri ini memang sangat kurang dan tidak dipungkiri mereka lebih memilih memahirkan diri bermain gitar listrik, drum, keyboard, atau bergabung dengan grup vokal dalam menyanyikan lagu2 klasik (bukan tradisional).

Barong ini termasuk dalam tarian Reog. Ada banyak macam tarian Reog di Indonesia selain Barong antara lain, Reog Ponorogo yang berasal dari Jawa Timur dan Reog Sunda yang menjadi tarian tradisional Jawa Barat.

Singkat cerita kurang lebih tarian Barong dan Kris bercerita seperti berikut ini:

Tarian pun dimulai dengan munculnya seekor barong, yang merupakan seekor singa yang mewakili kebaikan. Tak lama muncul kera yang merupakan sahabat barong. Mereka pun bermain bersama di hutan yang lebat. Lalu muncul 3 orang pembuat tuak dimana salah satu anak dari 3 orang tersebut mati dimakan barong. Perkelahian pun tak terelakkan antara 3 pembuat tuak, barong dan kera. Hidung salah satu pembuat tuak putus digigit kera.

2 penari muncul yang merupakan pengikut Ragna yang merupakan lambang kejahatan, digambarkan sedang mencari pengikut Dewi Kunti untuk menagih hutangnya yang akan memberikan anaknya Sadewa sebagai kurban. Pengikut Dewi Kunti dimasuki roh jahat oleh pengikut Ragna sehingga menyebabkan mereka menyerang Dewi Kunti bersama2.

Dewi Kunti yang tak sampai hati menyerahkan Sadewa sebagai kurban dimasuki roh jahat oleh Setan sehingga menjadi jahat dan rela menyerahkan anaknya. Sadewa yang terikat diletakkan dan ditinggalkan di muka istana Ragna. Dewa Siwa yang melihat itu memberikan keabadian hidup kepada Sadewa sebelum Ragna mendapatkan Sadewa di muka istananya.

Ketika Ragna mencoba mengoyak2 tubuh Sadewa untuk dimakan, tak terjadi apa2 pada Sadewa hingga Ragna kelelahan dan menyerah lalu berbalik memohon keselamatan. Ragna pun diampuni

Kalika (pengikut Ragna) juga memohon pengampunan namun Sadewa tak berkenan mengampuninya. Kalika menjadi marah dan berubah wujud menjadi babi hutan untuk menghadapi Sadewa namun dapat dikalahkan Sadewa. Kalika seketika berubah wujud lagi menjadi burung tetapi tetap dikalahkan oleh Sadewa. Dan akhirnya Kalika berubah menjadi Ragna dan Sadewa yang kemampuannya masih dibawah Ragna tak mampu mengalahkannya.  Akhirnya Sadewa berubah wujud menjadi Barong dan pertarungan mereka abadi hingga sekarang. Kebaikan dan kejahatan masih terus berlawanan hingga kini.

Jujur saja saya baru pertama kali liat tarian ini, saya terkesima. Saya suka sekali kesenian ini. Gimana dengan yang lainnya? Ternyata hanya adik saya yang sama tertariknya dengan saya. Mama saya ga punya sense of art di bidang musik dan tarian, rasa seni mama saya hanya di bidang pakaian secara dia tukang jahit. Itupun ga berkembang seiring perkembangan jaman, jadi cenderung old fashion. Sementara dari keluarga Kristina tak ada satupun yang tertari. Jadi dari 7 anggota rombongan kami hanya 2 orang yang menikmati tarian ini.


Sekedar info, tiket masuk untuk menonton tarian ini sebesar Rp100.000 per orang. Anda akan mendapatkan selembar kertas yang merupakan skenario dari tarian2 yang akan ditampilkan dari awal hingga akhir.

Kamis, 25 Juni 2015

Aku Cinta Indonesia

Awalnya saya memandang sebelah mata. Awalnya saya pikir mereka bodoh. Awalnya saya kira mereka tak mau membuka wawasan terhadap tempat wisata lainnya. Yup ini persepsi saya tentang orang2 Ausi yang menganggap Bali is the most beautiful place. Karena menurut saya masih banyak tempat2 di Indonesia yang lebih bagus ketibang Bali seperti misalnya Bonaken, Tanah Toraja, Raja Ampat, Lombok, Karimun Jawa, Borobudur, dll. Sekarang saya mengerti kenapa orang2 banyak yang berbondong-bondong berpelesir ke Bali dan hanya taunya Bali dan tidak tau menau tentang tempat2 yang saya sebutkan barusan.

Pertama, manusianya berbeda.
Saya mengetik artikel ini saat sedang di Yogya yang katanya penuh dengan keramah-tamahan. Tapi sayang Yogya yang dulu sangat berbeda dengan Yogya yang sekarang. Bali yang baru saja saya tau beberapa hari lalu jauh lebih ramah ketimbang Yogya. Mau dibandingkan dengan Jakarta. Huek, jauh ke awang2 lah. Kalo di Bali saya senyum sama orang2 lokalnya, pasti dibalas senyum. Kalo di Tangerang, udah pasti ceritanya beda. Saya pasti langsung disamperin terus dipalak, dompet dikuras. Kalo beruntung pulang masih bernyawa.

Kedua, rasa memiliki
Kata “rasa memiliki” terucap dari adik saya sebagai jawaban ketika saya melontarkan pertanyaan mengapa banyak orang mau ke Bali? Menurut saya pun begitu, saya melihat banyak orang2 Bali yang mau mengembangkan diri dengan mempelajari tarian dan budaya Bali. Selain dikarenakan hal ini bisa mendatangkan uang, kalo tidak ada kecintaan saya rasa tak akan mereka mau mempertahankannya. Bagaimana bisa cinta kalo lihat aja belom pernah? Contoh, kalo anda orang Jakarta, berapa kali sebulan anda bisa lihat tari Jaipong? Belom tentu bisa sekali, betul ga? Itu baru dari 1 tarian. Tapi kalo mau liat budaya2 asing, beuh gampang banget. Tinggal ngesot ke Mall yang membanjiri Jakarta dan menyusul Yogyakarta.

Ketiga, banyaknya tempat wisata indah
Dikarenakan banyaknya wisatawan yang berkunjung, otomatis tempat2 yang tadinya terbengkalai malah jadi terawat dan mendatangkan devisa. Jadi di Bali ga melulu soal budaya Bali. Ada banyak tempat yang bisa merefreskan suasana hati terutama buat orang bule yang hobi berselancar. Pantai Bali menjadi wahana yang diidolakan bagi mereka. Buat orang Indo ya paling2 Cuma main air dan menikmati matahari terbit/terbenam saja. Lalu ada juga pulau penyu yang membudi-dayakan penyu, dan menyelam menikmati batu karang.

Kesemuanya ini berawal dari manusianya. Jika mau bekerja sama membangun negeri yang kaya pastilah penggiat negeri tersebut akan kecipratan kaya pula. Ga bisa satu orang, dua orang, tapi harus beramai2 mengelolah negerinya. Okelah, kita ga usah ngomongin negeri, tapi coba kota masing2. Ada banyak aspek yang bisa mendatangkan uang jika kita mencintai yang kita miliki.

Kalo kata orang bijak bilang, “Janganlah mencari apa yang tidak kita miliki dari orang lain, melainkan syukuri apa yang kita miliki, niscaya kita akan merasa amat kaya.” Kalo tetangga pake Iphone ter-update, ga usah iri kalo ga mampu. Pastikan dulu istri dan anak cukup makan dan bisa sekolah. Atau kalo belom punya anak/istri, uangnya mending dikumpulin buat investasi. Saya lupa, motivator atau pebisnis jepang ya, ada yang pernah bilang, kalo mau beli barang2 konsumtif pastikan uangnya berasal dari pendapatan investasi dan kebutuhan pokok sudah terpenuhi semua.

Terus kalo liat temen hidupnya maju pesat sekali, pelajari yang baik2 darinya, rendahkan hati untuk belajar. Perlu diingat dukun ga akan bisa bikin kamu kaya. Yang ada kamu yang bikin si dukun kaya. Saya sih percayanya paham “Luck is coming to hardworking person”


Kalo menitik balik ke permasalahan budaya, saya yang berasal dari Tangerang sampe sekarang ga tau apa budaya yang dimiliki Tangerang. Sedih dan miris rasanya, saya ga pernah liat tarian tangerang, denger aja belom pernah. Apalagi kesenian atau alat musik tradisional tangerang. Mungkin saya yang bodoh ga ingat waktu diajar di sekolah. Atau bisa jadi memang SDM nya tidak ada yang tertarik memelihara budaya tersebut. Padahal hal tersebutlah yang bisa mendatangkan devisa dan membuat penduduknya kaya. 

Minggu, 24 Mei 2015

Lavendula

Masih tentang perjalanan di sekitar Daylesford dan permukiman air mineral. Ternyata ada tempat kunjungan yang mirip dengan Yuulong Lavender. Perkebunan lavender yang tentu saja sudah tak berbunga lagi karena kedatangan kami di salah musim. Nama tempatnya adalah Lavandula. Dengan membayar $4 per orang dewasa dan $1.5 untuk anak2 terhitung yang sudah mulai sekolah. Eog dihitung gratis karena masih ngesot di playgroup.

Perjalanan hampir mendekati tempat Lavandula memang naik turun. Artinya ada pemandangan bukit2 di sebelah kanan, peternakan domba yang terlihat dari atas, dan pohon dedaunan maple yang terlihat kemerah-merahan. Sayang saya sambil nyetir jadi ga bisa benar2 menikmati pemandangannya.

Sampai di sana dengan membayar 2x $4 di dalam sebuah gubuk kayu, sang kasir sudah menunggu dengan ramah dan siap menjelaskan ada apa aja di dalam sana. Tempat pembayaran tiket pun sekaligus sebagai tempat toko penjualan souvenir yang terbuat dari lavender. Ada banyak pula mainan2 kayu maupun pernak pernik penghias rumah buat yang doyan sama pajangan.

Di hadapan kami setelah melewati gerbang masuk, ada 2 gubuk masing2 di kanan dan kiri dimana gubuk ini punya cerita sendiri juga. Barang2 yang mengisi rumah tersebut masih sama seperti sedia kala dihuni oleh penghuni sebelumnya. Keluarga dari Swiss yang datang ke Australia bermaksud untuk menggali emas2 yang ada di sini. Kata guide nya kalo beruntung kamu bisa nemu kerikil emas di pinggir jalan sekitar sini, tapi jangan berharap banyak karena emasnya sudah habis dari puluhan tahun yang lalu. Jadi kalo ada serpihan2 pun sudah diambilin orang dari jaman dulu.

Lewat dari gubuk orang Swiss kami lanjutkan perjalanan. Sebelah kanan tersaji pemandangan lembah dan bukit yang bagus banget dengan hamparan rumput hijau dan tanaman lavender yang belum mekar. Sementara di sebelah kirinya ada kafe LOCARNO yang menyediakan tempat duduk di dalam dan di luar. Nothing special ya karena kafe dimana2 juga bisa duduk dalam dan luar. Kami memilih di luar karena pemandangannya yang indah dan letak meja dan kursi berada diantara pepohonan yang ditanam berurut. Walau dingin tapi suasana terasa hangat dengan kebersamaan, apalagi ditambah bukit2 yang menghiasi mata seperti lukisan, ditambah seruputan kopi panas.

Ada sesuatu yang menarik dipojokan kafe. Saya melihat ada tangki penampungan air besar bertuliskan “Air hujan, silahkan diminum. Gratis” Wah, jelas saya minum ini sih, penasaran rasanya. Dulu waktu di Pontianak, saya dijelaskan sama ipar saya yang ternyata selalu menampung air hujan untuk kebutuhan sehari2 seperti mandi, masak, dan minum. Tapi bukan air rembesan pertama karena kotor membawa debu dari genteng. Biasanya mulai ditampung setelah 2-3x hujan.

Lanjut lagi melewati kafe, kami menemukan ada 2 kandang terpisah, masing2 dihuni oleh 1 hewan unggas besar bernama Emu. Entahlah dalam bahasa Indonesia binatang apa ini. Saya coba translate di google tetep aja keluarnya Emu. Jadi kalo bingung silahkan google image, jadi tau bentukannya seperti apa. Hewan unggas ini menurut saya mirip burung unta, hanya saja kalo burung unta bulunya hitam-putih dan lehernya tak berbulu, sementara Emu seluruh badannya termasuk lehernya berbulu yang sama yakni abu2.

Melewati 2 kandang Emu, kami lanjutkan tetap ke depan. Ada kandang yang terdapat sekumpulan bebek putih atau biasa saya sebut soang. Hmm, bahasa formalnya itik. Eog yang demen sama binatang ya demen deh ngeliatin gituan. Kami mah lihat kanan-kiri, mau tau aja ada apa di sekitar situ walau ternyata ini jalan buntu.

Kami balik ke arah kandang Emu dan berbelok kea rah lain. Di sana ga ada apa2, hanya saja pemandangannya bagus sekali. Jadi kami foto2. Oh, iya, ada kereta tua yang terparkir di salah satu gang di sebelah kiri jalan.

Setelah puas dengan jepret2 dan menikmati pemandangan serasa di ladang yang mirip orang tua angkat Superman (Ken’s family), kami akhiri perjalanan kami di toko souvenir tempat kami bayar tiket masuk tadi.







Selasa, 19 Mei 2015

Bagaimana Saya Bisa di Australia

Berdasarkan permintaan salah satu pengunjung dan saya juga baru nyadar setelah saya baca2 ulang postingan yang lama ternyata saya belum cerita dan banyak yang nanyain juga gimana prosesnya saya bisa ada di Australia.

Pertama2 perlu diketahui bahwa saya dan Kristina sudah ga betah di Jakarta. Yang paling ga betah sebenernya Kristina karena dia bukan berasal dari kota besar. Sementara saya sudah dibesarkan dengan suasana polusi dan ketidak-nyamanan ini jadi ga ngerasa kalo ini adalah situasi yang salah.

Awalnya kami hendak pindah ke Singapura. Kristina mencoba mencari info melalui internet, mungkin ke website imigrasi Singapur kali. Disimpulkan bahwa peluangnya adalah 50:50 dikarenakan keputusan berdasarkan pihak imigrasi Singapur. Kalo dia seneng dengan profil kita dia kasi PR ke kita tapi kalo nggak, dibiarinin aja tuh dokumen kita tanpa ada pemberitahuan mengenai kemajuannya. Jadi kita kaya nungguin sia2. Selain itu Atma Jaya Yogya yang menjadi Universitas tempat kami lulus, tidak ada dalam list mereka yang diperbolehkan untuk memperoleh PR.

Lepas beberapa hari setelah kekecewaan kami karena ga bisa apply PR Singapur, paman saya yang dari Sidney datang berkunjung ke Tangerang untuk mengunjungi saudara2nya termasuk saya. Mendengar cerita darinya mengenai peluang di Ausi kami pun tertarik mengikuti jalannya. Paman saya bisa jadi warganegara Ausi sekarang melalui jalur ilegal. Dia datang ke Ausi skitar 15 tahun yang lalu. Dulu Ausi butuh penduduk jadi dengan mudahnya bisa dapat kewarganegaraan. Dengan memiliki anak yang lahir di Ausi, ketika anak tersebut tepat berusia 10 tahun, anak tersebut secara otomatis mensponsori orangtua nya untuk menjadi warganegara Ausi. Tapi sekarang Ausi kekurangan lahan pekerjaan, dalam arti lain di sini sekarang kelebihan tenaga kerja jadi kedatangan penduduk secara ilegal tidak akan mengubah nasib secara signifikan.

Saya ceritakan ke Kristina apa yang paman saya sampaikan waktu itu dan mengajaknya untuk hengkang ke Ausi mengikuti jalurnya. Kristina langsung menolak. Bukan menolak untuk ke Ausinya melainkan caranya. Menurutnya 10 tahun harus menghindari polisi dan bekerja secara ilegal sangatlah tidak nyaman. Selain itu kebijakan pemerintah bisa saja berubah dalam kurun waktu 10 tahun. Dan benar saja tebakan Kristina, sekarang pemerintah Ausi sangat menentang kedatangan imigran gelap terutama dari Indonesia yang sering menggunakan visa turis lalu bekerja di perkebunan.

Pupuslah harapan saya pikir waktu itu karena amat sulit untuk mendapatkan PR dengan jalur resmi terutama dari segi finansial. Kalo ga salah 2-3 hari kemudian Kristina ngabarin saya bahwa ada teman kuliahnya dulu mau ngenalin agen yang sedang memproses dokumen temannya itu juga untuk pengajuan PR Australia. Tanpa babibu, langsung aja kami langsung berhubungan dengan agen ini untuk interview apakah kami memenuhi syarat atau nggak untuk PR. 

Singkat cerita, dokumen2 yang dibutuhkan untuk pengajuan PR pun kami siapkan dan kirim ke Australia karena kami atau lebih tepatnya Kristina sebagai aplikannya memenuhi syarat. Sekedar info, pengajuan PR kami melalui jalur Skilled Migrant. Setelah menyelesaikan pembayaran kedua dari total sebesar $5,500 atas jasa agen dalam pengurusan PR ini, agen pun bilang, sekarang cuma tinggal nunggu kabar dari pemerintah Ausi. Kalo di approved tinggal melunasi pembayaran ketiga. Darimana itu $5,500? Huh, ngutang, bro. Ngutangnya pun ga ke satu/dua orang, tapi 7 orang sekaligus. Jangan kira kami punya duit segitu. Boro2 10 juta, 1 juta ditabungan pun tak ada. Kami dari kelurga miskin yang punya tunggakan besar, namun tak sebesar impian kami.

Ditengah proses menunggu yang katanya bisa sampai 1-3 tahun, agen pun nawarin 'Mau ga ikut Work and Holiday Visa?' Saya ga punya alasan untuk menolak karena udah emped sama situasi keterdesakan ekonomi ini. Dokumen pun disiapkan lagi dan kejadian buruk menimpa kami. Kami mendapat kabar papi Kristina meninggal serangan jantung di pagi hari. Akhirnya kami tunda dulu persiapan dokumennya dan melayat ke Pekalongan. 

Singkat cerita dalam suasana berkabung kami kembali melanjutkan persiapan dokumen. Whatever happened, life must go on. Kami semakin bertekat untuk kehidupan yang lebih baik. Apply WHV sudah barang tentu duit lagi, kalo ga salah waktu itu $1,000/orang. Sekarang bisa nyampe $2,000/orang, minjem sodara yang lainnya lagi, muka ditebelin aja kalo ada yang nanya 'utang kamu sama Tante A udah terbayar belum?' Atau pertanyaan2 lainnya yang sekiranya akan menyinggung perasaan, ditelan sajalah. Tak lama terdengar kabar WHV kami granted, kalo ga salah 20 Juli 2009. Tapi kami berangkat ke Ausi nya 9 Maret 2010. 

Kira2 9 bulan kemudian sekitar awal Desember 2010 kami dapat kabar PR kami granted. Artinya, setelah sekitar 1,5 tahun sejak kami kirim dokumen. Dan tentu saja duit lagi dibutuhkan buat ngelunasin agen nya. Tapi selama 9 bulan sudah bekerja keras dan hidup ngirit sengirit ngiritnya di Ausi, hutang2 sebagian besar sudah terbayar. Jadi kalo minjem duit lagi, perasaan agak lebih enak, muka bisa sedikit diangkat.

Kami kembali ke Indo untuk menyiapkan segala dokumen dan membawa barang2 yang sekiranya diperlukan untuk menetap. Masuk lagi ke Ausi dengan visa PR.

Sekian ceritanya, semoga terjawab kebingungan darimana urutannya kami bisa PR di Ausi. Semoga menginspirasi...

Selasa, 28 April 2015

Daylesford Lake

Sampe juga akhirnya di danau yang sedari rumah Kristina bilang bagus. Dia pun kata temennya yang orang Fiji yang udah berkeliaran ke sana kemari di sekitar Victoria ini. Jadi boleh sedikit percaya lah seleranya. Pas nyampe, eh kok malah keliatan biasa aja. Agak kecewa nih ga seperti yang dibayangkan. Danaunya emang luas, tapi ya gitu deh, kaya danau biasa tempet saya biasa main bola di Cairn Lea (suburb sebelahan sama Saint Albans). Hehehe, main bola kok di danau? Maksud saya adalah taman tempet saya biasa main bola namanya Jones Creek, posisinya ada di suburb Cairn Lea, ada danau yang cukup besar di situ. Pemandangannya bagus waktu pertama kali ke situ. Karena udah keseringan jadi biasa aja. 

Ilustrasinya sih mirip kaya makanan enak. Contoh nih, martabak susu-keju, enak ga? Enak banget menurut saya. Atau duren lah (kalo seandainya ga suka martabak susu-keju). Makan sekali, dua kali, tiga kali masih semangat buat nambah. Kira2 kalo makan yang sama selama 3 bulan apa masih bilang enak? Hmmm, ga yakin…

Seperti pada umumnya danau2 di sekitar Victoria (ga tau kalo di daerah tropis seperti Brisbane atau Darwin) pasti ada bebek sama burung hitam yang paruhnya putih atau burung hitam yang dadanya biru dengan paruh berwarna merah. Ketiga unggas ini pasti ada sebagai binatang liar di danau2 Victoria. Ibarat kucing kalo di Tangerang/Jakarta. Anehnya kedua burung yang saya sebutkan di atas, keduanya bisa berenang. Karena saya ga tau namanya saya Cuma bisa menyebutkan ciri2 perawakannya saja sambil menampilkan gambarnya, sapa tau yang baca postingan ini ada yang tau nama burungnya dan berbaik hati ngasi info ke saya lewat komen.

Ada 2 tempat makan di area danau ini. Yang satu namanya Boathouse yang sama sekali tak terlihat kursi kosong di situ waktu saya iseng mengintip. Yang satu lagi namanya Bookbarn, konsepnya adalah sebuah kafe dengan buku2 yang bisa di beli atau dibaca di tempat. Karena saya ga tertarik untuk mencicipi kafe nya jadi saya ga mengintip seberapa ramai kafe ini. Yang pasti dari luar terlihat ayem tenteram tak seramai dan seberisik Boathouse. Mungkin Karena konsepnya yang seperti perpustakaan jadi orang2nya pada kalem2 baca buku sambil nyeruput kopi terus menikmati pemandangan danau dengan pepohonan yang sebagian menguning sebagian lagi merah dan hijau. Ah, indahnya musim semi...

Kalo kamu tertarik untuk naik perahu di danau ini, ada tempat penyewaan perahu plastik dengan tenaga genjot. Kalo pernah ke Ancol, pernah liat perahu bebek2an? Nah cara kerja perahunya sama, cuma perahunya ga berbentuk bebek. Cukup simpel, cuma kotak biasa tanpa bentuk apa2 dengan jumlah penumpang 2 orang. Atau ada juga perahu dayung dengan jumlah maksimal penumpang 4 orang. $10 per 15 menit untuk perahu genjot, $20 per 30 menit untuk perahu dayung. Posisi penyewaan perahu berada tepat di belakang restoran Boathouse. Ada peraturan2 yang harus diperhatikan sebelum menyewa perahu yang tujuannya untuk keselamatan seperti misalnya anak2 usia 2 tahun ke bawah harus duduk diantara 2 orang dewasa. 

Terlihat di sana ada track yang bisa kami lalui untuk menikmati pemandangan di danau ini. Kami mulai lah menelusurinya. Hmm, saya mulai mau nelen ludah sendiri nih, ternyata bagus juga. Eh makin dalem di telusuri, pemandangannya makin ahoy. Wah, keren. Harus saya akui saya menelan ludah saya waktu itu, pemandangannya bagus banget. Mungkin di foto beda sama aslinya. Jujur saja, saya kurang puas dengan hasil gambar dari kamera saya. Tapi setidaknya saya menyaksikan sendiri dan menikmati suasananya walaupun medannya tidak bersabahat buat yang bawa troli anak seperti saya.

Di sisi pertama dari track yang kami mulai dari restoran Boathouse masih bersahabat karena jalanannya rata dan sebagian dari semen, jadi buat troli masih bisa dilewati, kira2 500 meter. Sebelum melanjutkan track pemandangan danau, kami dihadapi cabang jalan, mereka menyebutnya Goldfield Track dimana ada 4 spot lagi di dalam sana yang mungkin lebih ahoy lagi namun tidak kami lanjutkan karena sepertinya perjalanan akan semakin panjang jika harus menelusuri jalan tersebut. Spot terdekat bernama Golden Mountain Walk (11.4 km), Mount Franklin View Walk (14.2 km), Tipperary Walk (16.3 km), dan terakhir Cry Joe Walk (19.3 km). Kami cukup menikmati spot terdekat di situ yakni ada 3 pompa air yang masih berfungsi menyedot air dari dalam tanah. Rasanya udah pasti bisa dibayangin. Semakin yakin setelah ada bule yang nyicip airnya terus komen rasanya kaya besi. Setelah ambil beberapa foto di situ, kami lanjutkan perjalanan dengan keluar lewat jalan masuk tadi. 

Perjalanan selanjutkan untuk menikmati pemandangan danau mulai sulit karena jalannya terbuat dari batu kali sebesar kepalan tangan yang ditimbun bersama tanah, jadi ga rata dan menanjak pula. Butuh keahlian khusus dalam mengendarai troli bayi supaya bos yang lagi duduk kecapean di situ tetap nyaman dan aman. Apalagi lebar track nya hanya selebar 4-5 orang dewasa. Waktu ada petugas patroli lewat sambil naik kuda besar, wuih saya benar2 berada di tepian jurang. Si Eog mah kesenengan liat kuda lewat, lah saya agak panik seandainya itu kuda nerjang ke kami, bingung mo milih nyebur ke jurang atau merelakan Eog diinjek kuda.

Perjalanan berlanjut dan di tengah2 ada pasangan pengantin lagi foto wedding di situ. Ada kru nya juga yang lagi nunggu di dermaga untuk siap2 pose tertentu sambil fotografernya jepret2 si pasangan yang lagi duduk di kursi danau. 

Mulai dari situ kami udah jalan cepet2 aja karena udah kelaparan dan Eog keliatan bosen. Kristina sibuk dengan dengan hp nya buat nyari tempat makan enak nan murah. Sebenernya ga ada yang murah di sini secara daerah ini tempat wisata, tapi setidaknya lebih murah dari Boathouse yang saya sebut di awal. 

Saya agak rewel soal makanan (seandainya punya pilihan). Ga bisa serta merta percaya review-an internet yang positif. Ga peduli yang bilang enak 90% pun, kalo makanannya oz food cm menang di suasana doank, makanan nya mah ke-eropa2an kaya fish and chip, pasta, spagetti, dll. Buat saya ga masuk kaya begituan.

Sekian dulu cerita Daylesford Lake yang jauh dari lengkap ini. Karena perjalanan ngiderin danau ini selama hampir 2 jam, ternyata baru separuh danaunya. Dan ini belum termasuk penelusuran gang2 yang ada di tengah2 track. Mungkin besok2 kalo kami punya waktu luang dan mau mengunjungi tempat ini lagi, gang2 tadi bisa dijambangi.





Minggu, 26 April 2015

Sailor Falls

Langsung aja ga usah pake basa basi bacin untuk pembukaan cerita postingan kali ini. Intinya kami dalam perjalanan menuju ke Daylesford Lake di suburb Daylesford tentunya. Tapi di tengah jalan saya tak mampu lagi menahan diri untuk berfoto bersama pemandangan yang indah2 itu dan tak jauh dari tempat kami berfoto tadi ada pemberitahuan tentang tempat bagus untuk dikunjungi. Dikarenakan kami punya banyak waktu jadi kami sempatkan untuk singgah sebentar buat liat2 ada apa di tempat ini.

Nama tempatnya adalah Sailor Falls yang merupakan salah satu tempat penghasil air mineral untuk mensuplai penduduk Australia pada umumnya. Ada banyak tempat dan spot lainnya di sekitar Sailor Falls ini yang ditemukan sumber mata air mineral untuk dipasarkan di masyarakat. Mereka menetapkan slogan mereka sebagai Kota spa dan air mineral. Entahlah apa hubungannya air mineral dengan spa, karena saya kurang ngerti spa ini perawatan tubuh dengan cara diapakan.

Selain air mineral sebagai sumber alam, orang2 yang dulu tinggal dan pindah ke sini tujuannya tak lain adalah untuk menggali emas. Australia memang kaya akan emas dan uranium, bisa dilihat di peta kalo benua ini kan diperkirakan pasti menyatu dengan papua dulunya. Ada yang tau kenapa Freeport di Papua masih belom hengkang dari sana? Mungkin kah emasnya belom abis? Atau malah mereka menemukan sumber alam lainnya yang tidak bisa disebar luaskan? Uranium maksudnya. Sumber utama pembuatan nuklir. Tak ada yang tau, saya pun hanya bisa mengira2.

Mencoba untuk menelusuri jalur tangga yang cukup curam (buat Kristina) menuju pusat air terjun yang sudah tak menerjunkan air lagi selain kucuran air saja. Kalo kita ke tempet air terjun biasanya kan dari jauh suara deruh airnya tuh udah terdengar setidaknya 300 meter. Nah di Sailor Falls ini yang terdengar malah suara air ngocor. Sama halnya seperti air ngocor dari keran ke bak mandi yang kosong. Mencoba menapaki setiap jalur, maki lama makin menyulitkan dan becek. Sambil bawa Eog memang cukup menantang medannya karena bebatuan dan jalanannya yang licin, khawatir kami jangan2 jadi korban yang sama seperti sedia kala. Katanya dulu pernah ada kecelakaan di sini namun ga disebutkan lebih lanjut kecelakaan seperti apa dan apa penyebabnya.

Naluri saya sih pengennya ngedaki bebatuan itu lebih dekat lagi ke arah kucuran airnya. Lalu merasakan suasananya yang dingin sejuk sambil menikmati bebatuan yang sudah saya lewati. Sayangnya udah berkeluarga dan ada buntut, jadi tiap langkah yang saya ambil terdengar omelan dan larangan dari “nyoya besar”. Mau tak mau harus saya telan hasrat mendakinya. Ya mungkin nunggu Eog udah 17 tahun kali ya, abis itu pergi lagi, pastinya ga sama Kristina, karena Kristina tipe orang yang berpetualang mencari aman, jadi agak kurang asik menurut saya. Sementara saya petualang yang ingin memuaskan rasa ingin tau tanpa mengabaikan bahaya tentunya. Kalo kata Kristina saya petualang konyol yang bisa mati konyol.

Berlanjut ke track berikutnya, setelah puas dengan spot air terjun “bohongan” itu, ada cabang lain yang bisa kami singgahi dengan berjalan kaki tentunya. Kristina udah males aja karena dia lebih milih melanjutkan perjalanan tapi saya berhasil merayunya untuk ikut karena melihat tracknya hanya cukup berjalan, jadi tidak membahayakan, hanya saja melelahkan, hehehe…

Di petunjuk arah disebutkan “air mineral 480 meter”, tapi baru jalan skitar 50 meter ada jembatan dengan sungai dari air kucuran yang tadi kami lihat, dan Kristina sudah yakin itulah tempatnya karena melihat perjalanan berikutnya tanahnya becek dan mendaki. Ah, saya mah yakin, saya dibo’ngin tapi karena dia udah ngewanti2 jangan dilanjutin, saya jadi takut sendiri. Dari sini ternyata kita bisa tembus ke Daylesford Lake (tempat yang mau kita kunjungi) dengan berjalan kaki mengikuti track yang sudah dibuat. Jaraknya 6,5 kilometer. Saya sudah membayangkan, pasti asik banget tuh perjalanannya kalo kesempatan itu bisa saya alami, hehehe… Mungkin hanya di dalam mimpi saja.


Alhasil kami kembali ke jalan yang tadi kami lewati untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Daylesford Lake. Di tengah jalan Eog minta gendong sambil bilang “capek, capek, huh, huh…” Mau tak mau saya gendong sambil mendaki tangga naik. Wow, fitnes hari ini luar biasa keras. Sampe di mobil, perut saya terasa sakit. Mungkin hampir kotak seperti Ade Ray, mantabs hehehe…