About Me:

Saya adalah seorang manusia gila yang terlalu banyak uneg-uneg & obsesi yang belom tercapai. Sebagian orang menilai saya adalah orang yang sedang mencari jati diri. Pernyataan tersebut hampir betul dikarenakan sedikitnya waktu bagi saya untuk menemukan apa yang saya benar2 inginkan dalam hidup ini. Tak ada ruang untuk berekspresi, berkreasi, dan menjadi gila di dunia yang naif ini. Alhasil, terciptalah saya sebagai pribadi yang terkesan eksplosif, dableg & sering keluar dari jalur. Kebahagiaan & kesenangan yang saya rasakan pun terkadang tidak pernah bisa dibagikan dengan orang lain, padahal Chistopher McCandless berpesan di akhir hayatnya: "Happiness only real when it shared". Untuk itulah blog ini tercipta, ga masalah orang2 yang baca mo menanggipnya atau tidak, ga masalah jika para pembacanya menjadi antipati atau termotivasi karena topiknya, yang penting saya sudah berbagi supaya ada sedikit cahaya kebahagiaan dalam hidup saya ini.

Sabtu, 07 April 2012

Resign dan Perubahan

Mood menulis tak kunjung datang. Sementara perjalanan dan cerita hidup terus berlanjut. Apa daya karena dalih kapasitas otak yang sempit jadi saya memaksakan mood saya dengan bekerjasama dengan otak untuk memindahkan data memori hidup ke blog ini.


Singkat cerita, per 25 maret 2012 lalu adalah hari terakhir saya kerja d restoran Es Teler 77, Melbourne. Iseng2 saya liat lagi catatan saya yang ternyata tepat 23 maret 2012 lalu tepat 1 tahun saya bekerja di sana. Ga kerasa cerita nya udah banyak banget dan sungguh2 1 tahun yang penuh pengalaman hidup yang tak dapat tergantikan, alias ga mau diulang (hehehe...).

1 minggu sebelum saya mengajukan resign saya dapet 2 insiden di dapur 'tercinta'. Yang pertama saya kecipratan minyak panas waktu lagi ganti minyak goreng yang sudah menjadi rutinitas harian. Saya kehilangan konsentrasi ketika mendadak ada orderan pangsit goreng. Jadi dilema buat saya mau ganti minyak nya sekarang atau nanti aja setelah goreng pangsit. Alhasil fryer yang sudah saya angkat jatuh lagi tepat ke minyak panas nya dan muncrat ke tangan saya. (Hasil cipratan bisa dilihat di gambar sebelah)

Yang kedua, terjadi keesokan harinya, dimana saya buru2 naro mangkok dan tanpa sengaja tangan ini nyenggol teko yang isinya penuh dengan sup mendidih. Supnya ga mengenai tangan saya, tapi tumpah tepat di kaki saya yang pakai sepatu. Apakah sebuah keuntungan saya pake sepatu? Hahaha, justru sepertinya gara2 pake sepatu saya terlalu lama buka sepatunya sehingga sup mendidih yang mengenai kaki saya di dalam sepatu sudah membuat kulitnya terpisah dari dagingnya.

Dalam minggu2 berikutnya saya bekerja dengan kondisi kaki terpincang2 karena kaki yang masih dalam proses pemulihan. Total 3 minggu kaki saya bisa pulih total. Dan Minggu terakhir dalam masa pemulihan tersebut menjadi minggu terakhir saya bekerja di sana pula. Foto kaki di atas diambil pada saat mau ganti perban di klinik terdekat dari rumah. Untungnya biaya pengobatan di sini gratis, jadi tiap kali balik ke klinik ganti perban kagak bayar. Padahal di situ tertulis jumlah biaya yang dikeluarkan rumah sakit untuk setiap kali saya ganti perban, $ 35.65. Bisa manyun kalo bayar sendiri...

pic dari sini
Oya, ada cidera yang belum pernah saya cerita dari awal karir saya jadi tukang cuci piring. Dalam minggu pertama saya kulit jari dan telapak tangan kering kerontang dan kulit tangan sampe ke lengan bintik2 merah. Entah karena apa, mungkin karena air panas, karena kami mencuci harus pake air panas, atau karena air cucian yang kotor. Foto berikut ini adalah foto teman yang profesi nya sama. Kurang lebih tangan saya pun seperti itu. Sayang foto asli tangan saya waktu itu lupa di foto, jadi ga ada kenangannya. Tapi kiranya foto teman ini bisa mewakili pembaca untuk mengira2 seperti apa bentuknya.

Tapi dari puluhan kemungkinan cidera, tetap ada yang membuat saya nyaman bekerja di restoran ini. 1 hal itu adalah karena saya merasa sudah menguasai 50% seluk beluk restoran ini. Memang belum 100%, tapi itu udah cukup membuat staf2 lain mengandalkan saya setiap kali permasalahan datang untuk dipecahkan. Ada kepuasan tersendiri ketika kita mampu memecahkan masalah yang bertubi-tubi datang. Itu menjadikan kita semakin percaya diri dan merasa penuh dengan pengalaman. Jujur aja, saya merasa seperti sudah di atas angin dan ini bukanlah pertanda baik. Zona nyaman - justru adalah zona yang membuat diri kita semakin bodoh dan tidak berkembang.

Selain alasan keselamatan kerja dan tuntutan keadilan dalam hal gaji, zona nyaman ini pula lah yang menjadi alasan saya untuk keluar dari restoran ini. Bekerja di zona nyaman seringnya ga bikin otak saya berkembang, apalagi mental saya. Bekerja di tempat baru, lingkungan baru, sistem yang berbeda, membuat saya harus berpikir ektra keras ketimbang memecahkan masalah2 rutin di restoran. Berkutat dengan manusia yang berbeda membuat saya belajar untuk bisa memahami orang lain, bukan meminta untuk dipahami. Belajar menyukai perubahan bukan lah hal yang mengenakkan. Tapi ketika kita terbiasa dengan perubahan (bukan berarti harus menyukainya), kita bisa menjalani hari2 ini lebih mudah karena dunia terus berubah. Kalau kita tidak ikut berubah (dalam artian masih tetap pada porosnya, alias punya prinsip) kita bisa ketelan zaman.

Tidak ada komentar: