About Me:

Saya adalah seorang manusia gila yang terlalu banyak uneg-uneg & obsesi yang belom tercapai. Sebagian orang menilai saya adalah orang yang sedang mencari jati diri. Pernyataan tersebut hampir betul dikarenakan sedikitnya waktu bagi saya untuk menemukan apa yang saya benar2 inginkan dalam hidup ini. Tak ada ruang untuk berekspresi, berkreasi, dan menjadi gila di dunia yang naif ini. Alhasil, terciptalah saya sebagai pribadi yang terkesan eksplosif, dableg & sering keluar dari jalur. Kebahagiaan & kesenangan yang saya rasakan pun terkadang tidak pernah bisa dibagikan dengan orang lain, padahal Chistopher McCandless berpesan di akhir hayatnya: "Happiness only real when it shared". Untuk itulah blog ini tercipta, ga masalah orang2 yang baca mo menanggipnya atau tidak, ga masalah jika para pembacanya menjadi antipati atau termotivasi karena topiknya, yang penting saya sudah berbagi supaya ada sedikit cahaya kebahagiaan dalam hidup saya ini.

Senin, 13 Juni 2011

Unhappiness

Entah harus merasa beruntung atau bersedih hati ketika menyadari harus dilahirkan di keluarga saya saat ini. Sepertinya bagi mereka uang adalah segalanya dan tidak ada yang lebih penting daripada uang karena dengan uang menurut mereka kesejahteraan hidup akan meningkat dan kebahagiaan sejati bisa diraih. Saya sih bisa memaklumi kenapa mereka bisa begitu soalnya dari kecil sampe kami (saya dan Leo, adik saya) melihat perjuangan mereka berdua untuk menghidupi keluarga ini sampai harus melupakan segala sesuatu demi meningkatkan jumlah rupiah yang masuk ke kantong dan mengirit dari segala aspek supaya ada simpanan untuk kami sekolah.

Otomatis saya dan Leo yang dididik dari budaya orang tua yang seperti itu menjadikan kami kurang lebih mirip2lah kaya mereka. Tapi buat saya ini cukup aneh. Saya yang dididik dari kecil dan punya pola pikir tentang uang mirip2 kaya orang tua saya kenapa bisa berubah dan ga terlalu kaku seperti mereka? Begitu juga Leo, saya melihat dia ga sekaku orang tua kami. Bahkan Leo pun sering berselisih paham dari banyak aspek kehidupan yang menyerempet2 ke faktor uang dengan orang tua kami. Artinya ada sesuatu yang bikin kami beda dengan orang tua kami meskipun didikan dari kecil tentang uang begitu kuat.

Saya mencoba untuk sedikit melankolis dan memikirkan permasalahan ini dalam2. Karena saya harus tau akarnya jadi saya bisa memahami mereka. Kalo saya ga coba memahami mereka selamanya kami akan seperti kucing dan anjing, akan selalu berdebat soal uang dan ga ada peningkatan. Hehehe... Peningkatan perdebatan ke arah apa ya? Mungkin berdebat soal politik gitu?

Setelah saya coba renungi dan mengingat2 kembali setiap perkataan dan nasehat2 mereka untuk kami, setiap perdebatan antar orang tua kami dan perdebatan dengan kami, akar permasalahannya cuma 1, Happiness (kebahagiaan), mereka tidak dapatkan itu sepanjang hidup mereka sampe detik ini. Mereka tidak peroleh kebahagiaan itu dari pasangan mereka karena mungkin masa lalu mereka waktu ngidupin saya dan Leo hanya uang yang diutamakan dan melupakan hal2 lain termasuk perasaan cinta terhadap pasangannya. Karena harus berhemat pula menjadikan mereka ga bisa menikmati hidup, ga bisa beli ini itu, mencicipi masakan restoran di sana atau jalan2 ke negeri antah berantah yang bisa sejenak menghapus isi otak yang kusut.

Sementara  saya dan Kristina dulu waktu di Jakarta biarpun stres sama lingkungan dan kerjaan, masih bisalah beli DVD untuk hiburan walaupun ga pernah nonton bioskop, atau makan paikut madunya Pu Tien, chicken wing nya Pizza Hut, atau jalan2 dan berinteraksi dengan orang lain. Karena dengan banyak berkomunikasi dengan orang lain kita akan semakin bisa menerima perbedaan kita dengan orang lain. Kita bisa menyadari bahwa perbedaan itu perlu. Kita bisa semakin dewasa dan tau cara bersikap seiring perkembangan jaman, jadi ga kolot dan ga berusaha memakaikan baju kita ke orang lain yang berbeda ukuran. Dan Leo pun begitu. Saya liat dia bisa menghargai dirinya sendiri misalnya kumpul2 sama temen SMA nya makan2, atau nonton bareng, atau ikut club futsal dari gereja, atau yang lainnya lagi mungkin yang saya ga tau. Intinya semakin banyak kita berinteraksi dengan orang lain otak kita semakin tajam dan terlatih jadi pola pikirnya ga dangkal (tumpul) dan menanggapi setiap permasalahan hidup bukan dengan pola pikir yang kolot. “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.”

Bagaimana dengan orang tua kami? Mama saya menganggap ngobrol2 sama orang lain itu tindakan konyol dan sia2, menghambur2kan waktu katanya. Bergosip dengan tetangga misalnya. Mendingan cari duit karena tawaran jaitan baju menumpuk (kebetulan mama saya tukang jahit). Karenanya mama saya ga pernah berkomunikasi dengan orang lain kecuali sama saudara2nya saja, itupun kalo ada acara kumpul2 doang, setahun paling2 4-5 kali. Jadi pola pikirnya stuck di situ aja. Karena ga pernah ketemu orang lain jadinya dia ga bisa menerima hal yang berbeda dari dia alias dia menganggap dirinya paling banyak tau dan benar. Nah, gimana dengan papa saya? Pribadi yang berlainan jauh dari mama saya. Dia justru lebih senang berbasa basi dan ketemu orang. Karenanya dia sedikit lebih memahami pola pikir saya dan Leo walaupun termasuknya kolot. Dan karena itu pula papa dan mama ga bahagia, karena mereka ga pernah ngobrol, bercerita, dan saling bertukar pikiran. Karena setiap kali papa ngajak ngobrol, mama menanggapinya dengan acuh tak acuh dan dengan sikap meremehkan karena buat dia itu ga penting. Karena ada gap yang begitu jauh antara mereka terutama dalam hal pola pikir menyebabkan mereka semakin ga bisa saling mengerti, dan semakin menghindari komunikasi karena setiap kali mulai berkomunikasi mereka selalu mengakhirinya dengan pertengkaran.

Lalu siapakah yang salah? Dimana2 istri ikut suami. Kepribadian dan pola pikir suami lama2 akan terduplikasi oleh istri juga, karena seumur hidup mereka bersama. Mama punya pola pikir tentang uang ini gara2 terduplikasi dari papa. Papa yang masa kecilnya suram dan selalu jadi anak buangan. Selalu mengemis untuk dipungut oleh saudara supaya bisa makan dan melanjutkan hidup. Kalo sodara yang ini udah ga mampu lagi dia langsung dikasi ke sodara yang lain, begitu seterusnya sampe dia dewasa dan bisa mulai cari duit sendiri. Makanya lulus SMP aja umurnya udah 17 tahun gara2 pindah sekolah terus karena yang mo nyekolahin ganti2 dan beda kota. Itu kalo lagi hoki, disekolahin. Kalo pas dapet sodara yang pelit boro2 disekolahin, yang ada dijadiin babu suruh kerja gajinya Cuma dikasi makan n tempat tinggal, jadi sekolahnya berantakan. Di kaki kiri papa ada bekas luka berbentuk lingkaran sedikit oval tapi ga beraturan, panjangnya kira2 15 cm. Saya pernah tanya itu bekas apa? Kok bentuknya kaya bekas jahitan? Dia jawab kalo itu bekas luka yang ga pernah kering selama bertahun2 waktu dia kecil. Saya ga bisa ngebayangin dia hidup, bergerak, bekerja, sekolah dengan koreng basah selama bertahun2, dengan bau yang ga enak apa lagi dipandang. Pahitnya idup, dibuang, disisihkan, kelaparan, diacuhkan, udah jadi bagian dari hidup dia di masa kecil. Saya  baru dapet cerita lagi tetang papa waktu kami ke tempet sepupu papa (saya manggilnya tante) di daerah Roxy. Jadi ceritanya papa pernah dipungut sama orang tuanya tante ini. Dipungutnya dimana? Di pasar lagi duduk melongo waplo dengan koreng yang tadi saya ceritain dan ga tau mo kemana dan berbuat apa. Waktu itu umurnya juga masih kecil mungkin di bawah 10 tahun, kelaparan di jalan (OMG, air mata gw netes... Ga gw banget sih ini?).

Pertanyaannya sekarang, kenapa korengnya ga sembuh2? Setahu saya walaupun koreng ga diobatin tubuh kita ini bisa pulih dengan sendirinya kok. Contohnya aja setiap luka yang saya dapet di tempet kerja, pasti kering walaupun ga pernah diobatin. Saya pernah menanyakan hal ini dan jawabannya adalah karena kekurangan gizi. Karena kekurangan asupan yang dibutuhkan tubuhnya makanya korengnya selalu basah. Udah bisa makan aja udah bersyukur banget katanya. Malah papa pernah bilang dia kalo makan telor 1 tahun Cuma 1x yaitu waktu ulang tahun doank.

Pertanyaannya sekarang, kenapa papa jadi begitu masa kecilnya? Jawabannya adalah karena orang tuanya bercerai dan dikarenakan ga punya uang untuk hidup jadi mamanya papa (nenek saya) menikah lagi dan papa dititipin di saudara. Pertanyaan lagi, kenapa kakek-nenek bisa bercerai? Karena faktor tidak bisa menerima perbedaan. Kondisinya adalah kakek-nenek dulu tinggal di rumah kakek bersama dengan mertuanya dan saudara2 dari kakek. Berdasarkan cerita yang saya dapet mereka ga suka karakter dan kebiasaan dari nenek, entah karakter apa yang dimaksud tapi gara2 itu mereka selalu menjelek2an nenek baik di belakang maupun di depan. Karena udah ga tahan akhirnya mereka bercerai.

Jadi kalo kembali lagi ke pertanyaan pertama, siapa yang salah? Yang salah adalah lidah2 sodara dan orang tua dari kakek yang ga bisa dikontrol dan kakek juga yang ga bisa mempertahankan hubungan mereka. Dan karena mereka ga bisa menerima perbedaan dan kenyataan bahwa setiap orang tidak ada yang sempurna, pasti ada sifat, sikap, atau kebiasaan buruk. Gara2 mereka kakek-nenek berccerai. Gara2 mereka masa kecil papa ga bahagia dan menderita. Gara2 mereka mama jadi ga bahagia. Dan gara2 mereka juga saya dan Leo ga pernah mendapatkan sanjungan atas prestasi kami. Gara2 mereka saya sulit untuk punya keinginan yang kuat dan impian akan masa depan yang jelas karena papa mama ga bisa mengarahkan kami.

Karenanya setelah menikah saya bertekad ga mau tinggal di rumah orang tua. Apalagi melihat orang tua saya yang kolot gitu, bisa2 nasib saya seperti kakek-nenek. Saya harus memutuskan rantai penyebab ketidak-bahagiaan yang udah turun temurun ini. Saya ga mau anak saya nantinya bernasib kaya papa saya. Membayangkannya aja udah ngenes banget, amid2 deh, jangan sampe kejadian. Cukup papa saya aja dan biarkan itu jadi pengalaman pahit dia yang bisa dibagikan dengan orang lain supaya jangan terjadi lagi pada orang lain.

Buat yang udah merit dan tinggal dengan mertua, jangan langsung berkecil hati. Liat dulu mertuanya. Ga semua mertua seperti orang tua saya. Segera kenali mereka dan kenali karakternya. Intinya kalo mereka bisa menerima perbedaan akan diri kita dan kita enjoy tinggal di situ, keep it going. Tapi kalo ga tahan, ga ada lagi yang perlu dipertimbangkan dan diperdebatkan. Segeralah pergi bersama suami/istri. Lebih baik keluar uang lebih banyak untuk sewa rumah daripada rumah tangga kita berantakan. “Laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya.”

6 komentar:

Unknown mengatakan...

nice story pitt

Petter Sandjaya mengatakan...

hahaha... thanks, ver.
ini di luar topik sbnrnya...

Sri Riyati mengatakan...

Piter, aku salut banget sama dirimu! Yang berani memutuskan untuk menjadikan keluargamu lebih baik meskipun ada akar 'kepahitan' dari orang tua dan kakek-nenek. Tapi kamu juga gak sepenuhnya menuding mereka, kamu maklum kalau mereka juga "korban" dari keadaan yang sulit. Ada yang bilang sama aku "memang orang2 di sekitarmu mempengaruhi, tapi keputusan ada di tanganmu sendiri". Tidak bisa dipungkiri prinsip hidup dan ketidakbahagiaan ortu pastilah ngefek ke kita, tapi kabar baiknya: kita bukan mereka! Mungkin sulit kalau berpikir ingin mengubah ortu, tapi dengan berusaha memahami dan tetep sayang sama mereka (sayang bukan berarti selalu sependapat) kita sudah memutuskan rantai kepahitan.

Semoga kamu berhasil membangun keluarga kecil yang bahagia sehingga ortumu tahu bahwa selama ini kamu bener...dan semoga ortumu bisa sembuh dari trauma masa kecil mereka dan mulai merasakan kebahagiaan :-)

Anonim mengatakan...

untuk memutuskan rantai kepahitan ini...solusinya cuma satu..saya tidak mau tinggal dekat2 mertua apalagi bareng2 mertua..kepahitan yang dulu belum hilang ntar semakin bertambah.
kenapa:
1. mama mertua ga mau datang waktu lamaran?
2. kenapa mertua ga datang waktu papi meninggal? orang tua mantan pacar adik aja datang..

jadi....untuk saat ini..mendingan menghindar..daripada dendam bertambah,..

sori curcol

siska mengatakan...

Mmmmm.....
semuanya tergantung mindset nya :D..
if you are postitif think, ervything will be positif.. :)..
*baru membuka blog lo lagi*.. :)...

and menurut gue..
Happines is a choice.. itu sebuah pilihan kook..
meski kalo dalam keadaan 'no money'..
itu sebuah pilihan, untuk bersyukur.. ;)..
Banyak hal yg didpt dari kita bersyukur.. :).
(and it happen in mylife..tar, kapan2 kalo ketemu, baru cerita.. hihihi..)

yaaa, hopefully, you don't blame your parentss..
walo bagaimana pun kondisi nya, dia tetap papa dan mama lo.. darah nya mengalir di dalam tubuh lo.. and just like GOD say..
" Faith, hope and love, the most greater is love".. sooo, tetap kasihi mereka yaaa...

yaa, think positive nya, mereka blm mengerti bagaimana ber relasi dngn baik...
why won't you do it first to them??
Don't hope people change.. but, change start in ourlife first.. :)..

Tetep semangat yaaa peter... hohoho..
(sharingnya kebaca deee.. :p)

Petter Sandjaya mengatakan...

Ria:
Thanks, ia... sebenernya pas ngeluapin ini di blog udah rada mendingan, tp setelah baca komenmu, jadi tambah termotivasi untuk lebih mengerti mereka.
Artikel2 mu jg salah 1 yang mempengaruhi pola pikir ku kok bahkan banyak pesan2 yg ga sempet terlintas di otakku eh, km malah terpikir ky gitu.
Semoga doa2mu terjadi, ia... thanks ya...

Siska:
eh, dibaca deh artikel gw... jgn dibocorin ke sodara ya? hehehe...
setuju bgt, ce, happiness is a choice, krn itu gw milih jalan yg beda dari ortu. Sementara mereka sptnya tidak memilih unt bahagia bahkan memilih unt mengikatkan diri pd materi. Sbg anak udah sharusnya gw memberi saran ke mereka unt jd lebih baik, tp krn merekanya ga mo dngr gw ga bs berbuat apa2. Gw ga mau lbh dr "memberi saran" ke ortu krn ntinya malah terkesan menghakimi mereka, pdhl gw sendiri belom bener.
Menyalahkan ortu? wah ga sama sekali, jstru gw malah kasian sm mereka, dr kondisi mrk, smp ke pola pikir mereka yg udah ga bs berubah lagi. Sgt kasian, gw sedih, takut nanti sampe akhir hayat mereka tetep aja kaya gitu... padahal kt pepatah "tua tua keladi, makin tua makin jadi", kynya ga cocok buat mereka...