About Me:

Saya adalah seorang manusia gila yang terlalu banyak uneg-uneg & obsesi yang belom tercapai. Sebagian orang menilai saya adalah orang yang sedang mencari jati diri. Pernyataan tersebut hampir betul dikarenakan sedikitnya waktu bagi saya untuk menemukan apa yang saya benar2 inginkan dalam hidup ini. Tak ada ruang untuk berekspresi, berkreasi, dan menjadi gila di dunia yang naif ini. Alhasil, terciptalah saya sebagai pribadi yang terkesan eksplosif, dableg & sering keluar dari jalur. Kebahagiaan & kesenangan yang saya rasakan pun terkadang tidak pernah bisa dibagikan dengan orang lain, padahal Chistopher McCandless berpesan di akhir hayatnya: "Happiness only real when it shared". Untuk itulah blog ini tercipta, ga masalah orang2 yang baca mo menanggipnya atau tidak, ga masalah jika para pembacanya menjadi antipati atau termotivasi karena topiknya, yang penting saya sudah berbagi supaya ada sedikit cahaya kebahagiaan dalam hidup saya ini.

Selasa, 27 Desember 2011

Profesi Pengemis dan Mental Pengemis

Beda negara beda lagi cara ngemisnya. Kalo di tangerang & jakarta yang pernah saya alami adalah mereka cenderung bersikap seperti preman. Mereka ga perduli orang yang mau memberi sumbangan/ sedekah apakah bisa mendapatkan sesuatu/timbal balik atau tidak dari si pengemis. Yang penting si pengemis mendapatkan apa yang dia inginkan, dalam hal ini biasanya dalam bentuk uang. Coba kalau anda perhatikan, walaupun judulnya ngamen yang notabene menunjukkan skill bermain musik, kalo anda langsung kasi uang pasti musiknya langsung selesai. Ini menunjukkan bahwa mereka cenderung enggan untuk berlama-lama show up kemampuan mereka. Seolah-olah skill mereka terlalu mahal untuk terlalu lama dipertontonkan. Atau mungkin saja tujuan utama mereka adalah uang. Jadi untuk apa mereka berlama-lama kalo mereka udah mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Sementara pengemis di sini justru ga bikin kita memaksa untuk ngasi receh atau untuk bilang "maaf" karena ga mau/ga punya receh. Bahkan kita bisa menikmati persembahan mereka tanpa perlu kita apa2. Misal ada yang ngamen di pingkir jalan (bukan dari rumah ke rumah lho, walaupun sama2 di siang bolong) kita tetep bisa menikmati suara sekaligus atraksi musiknya. Kalo kita mau kita bisa kasi receh atau sebagian uang kita tapi kalo nggak mau pun dia akan tetep bernyanyi dan mempersembahkan yang terbaik dari talenta yang mereka miliki. Atau pernah juga saya melihat pengemis yang melukis jalanan/trotoar dengan crayon. Kalo kita mau menghargai hasil karyanya kita bisa nyumbang tapi kalo ga rela, sekali lagi, ga ngasi juga ga apa2. Gambar ini saya ambil pada waktu saya lagi nunggu belanjaan saya minuman Bubble Milk Tea di Taiwan Cafe, tepat di sebelah Mc Donals di Swanston Street.

Kalo ditilik dari sisi psikologis, mental seperti inilah yang paling sering dimiliki oleh manusia-manusia yang udah bertahun-tahun menghuni suatu daerah/kawasan yang konon menurut beberapa buku, kawasan yang dihuni manusia-manusia yang saya maksud ini dulu bernama benua Atlantis. Sebuah benua yang telah lama hilang dari perdaban. Bahkan sangkin lamanya hilang, benua ini pun diragukan pula keberadaannya. Sebuah kawasan yang dengan tingkat kemajuan teknologi terceapat pada masa itu. Sempat diduga pula bahwa di kawasan ini manusianya sangat cerdas dan pekerjaan kloning mengkloning hewan dengan manusia sudah menjadi profesi yang biasa. Di kawasan ini pula ditemukan begitu banyak sumber daya alam yang tak terhingga banyaknya. Sampai-sampai kawasan dari daerah tetangga pun iri dan ingin menguasai.

Tapi sayang kawasan ini sekarang tak lagi seperti yang digambarkan di atas. Kawasan ini sekarang justru dihuni oleh manusia-manusia yang sebaliknya 180 derajat. Bermoral bejat dimana yang berkuasa bertindak semena-mena dan yang miskin ga bisa berbuat apa2 hanya bisa berpaku tangan dan menerima nasib. 


Yak, benar... Kawasan itu bernama Indonesia. Di kawasan inilah manusia-manusianya bermoral seperti pengemis, termasuk saya sendiri. Kalo yang namanya gratisan langsung nyerbu udah kaya orang berebut zakat. Bahkan yang judulnya harus bayar aja bisa dipikirin jadi gratis. Contoh aja kalo naik kreta api saya akui saya sendiri masih sering ga rela bayar tiket kretanya. Kalo aja tiket kreta saya bukan langganan bulanan, darah di dalam otak ini pasti masih bersirkulasi untuk memikirkan cara supaya ga bayar tiket.

Memang salut sama orang sini. Walaupun tetep yang namanya pelanggaran pasti ada tapi kuantitas nya jauh lebih sedikit ketimbang negara yang dulunya diduga benua atlantis itu. 

2 komentar:

Unknown mengatakan...

nah itu dia bedanya pengemis di negara lain dg negara kita. kalo di Eropa apalagi.mereka menampilkan karya seni yg luar biasa. spt pantomim, pura2 jadi patung dll. jadi ngasih uangnya pun rela banget. karena ada kreativitas yg sungguh2.

Petter Sandjaya mengatakan...

Iya, stuju, betul bgt. Iya bnr, ada jg lho yg jd patung, cm sy blm smpt upload.