Lebih baik terlambat daripada sama
sekali ga diceritain. Kami menyempatkan diri waktu tanggal 8 April 2012 untuk datang ke museum yang dari
dulu penasaran apa isinya. Karena tiap kali naik kereta kalo turun di Flider
Street Station, museum ini selalu keliatan dari kereta. Nama museumnya adalah Immigration
Museum, tepat di jalan Flinder Street museum ini berada. Seperti namanya museum ini isinya tentang hal2 yang berbau imigrasi
atau perpindahan penduduk dari suatu negara ke benua Australia, khususnya
Melbourne.
Gedung Immigration Museum ini selesai
didirikan pada tahun 1878. Ya kira2 jaman nenek buyut kita lagi tusuk tusukan pake
bambu runcing sama Belanda, ini gedung udah selesai dibangun. Tujuannya adalah untuk
mengabadikan kedatangan pada imigran Inggris yang datang ke Australia sekaligus
sebagai wujud respek para imigran terhadap penduduk lokal pada waktu itu.
Immigration Museum ini sendiri
sebenernya didirikan di atas tanah orang lokal yang menempati Melbourne pertama
kali sebelum para imigran Inggris datang. Ya, seperti yang kita ketahui, orang
lokal Australia ya, suku Aborigin. Dan tanah ini sebenernya dianggap sebagai
tanah tradisional, mungkin artinya sama dengan tanah leluhur yang harus tetap
dijaga kelestariannya. Nah, untuk menjaga kelestariannya itu Departemen
Pekerjaan Umum mendirikan museum ini di atas tanah tersebut untuk mengenang orang
lokal dan para imigran. Sampe sekarang museum ini masih terlihat asri walaupun
dari luar gedungnya terlihat kuno. Ini wujud bahwa pemerintah Australia serius
dalam usaha pelestarian tersebut.
Sampe sekarang para imigran
yang datang ke Melbourne bukan lagi orang2 dari Inggris, melainkan mereka2 yang
dari penjuru dunia. Karenanya ada tulisan di museum ini yang menyatakan bahwa
Melbourne sebagai salah satu kota multikultural terbesar di dunia.
Di salah satu sudut museum ini
menceritakan ada seorang pria bernama Vittorio yang tinggal di Sicily, Italia
sebelum akhirnya migrasi ke Australia pada tahun 1959. Vittorio muda yang pada
waktu itu masih berusia 16 tahun berhasrat untuk menjadi tukang cukur rambut setelah
kepindahannya ke Australia karenanya dia mengambil kursus hairdressing. 2 tahun kemudian temannya bantuin dia untuk buka
tempet untuk cukur rambut di Brunswick dengan nama Vittorio’s Barbershop. Sebelumnya
sekedar info, bahwa daerah Bruncswick ini memang terkenal dengan para imigran
dari Italia.
Pada tahun 2010, customer setia
Vittorio meninggal dunia. Namanya Fransesco, imigran asal Italia juga yang udah
langganan dengan Vittorio selama 48 tahun. Fransesco adalah customer tertua
Vittorio. Ia meninggal dunia pada usia 104 tahun. Fransesco yang awalnya
tinggal di Brunswick, dia pindah ke Mornington Peninsula. Tempat yang cukup
jauh kalo menurut saya. kalo naik kereta kira2 2 jam. Abis itu masih naik bis
lagi 30 menit. Selama kepindahannya itu, Fransesco masih tetap setia potong
rambut di Vittorio. Ketika dia udah ga bisa segesit waktu muda, kadang dia
meminta keluarganya untuk mengantarnya ke Vittorio’s Barbershop. Inilah yang
membuat Vittorio benar2 mencintai pekerjaan. Dia seperti menemukan jati dirinya
dan begitu menikmati pekerjaannya. Dia merasa dibutuhkan untuk pekerjaan yang
ia kerjakan. Duh, kapan ya saya bisa seperti Vittorio, menemukan jati diri dan
begitu menikmati hidup?
Di sudut lain ada cerita
imigrasi tentang keluarga India yang datang ke Australia Cuma bawa 2 koper, uang
50 Poundsterling, dan ijazah sang suami sebagai Guru. Pada tahun 1972 Kantibhai
Tailor bersama istrinya, Pushpa, dan anaknya yang baru berusia 2 tahun berangkat
menuju Australia. Pada waktu sampai di Melbourne, Kantibhai menyadari dan peka
terhadap situasi pada waktu itu, bahwa komunitas India pada waktu itu sulit
sekali untuk mendapatkan bahan pangan dan rempah2 khas India. Karenanya dia
mulai impor kecil2 barang tersebut dan mulailah dia berjualan di garasi
rumahnya. Pada waktu itu masih tahun 1983 dan hanya dalam waktu 1 tahun
permintaannya semakin pesan dan dia mulai mengambil alih Chinese Grocery yang
ada di Clayton dan mengganti namanya menjadi Truspice. Sampai sekarang Truspice
dikenal sebagai First Indian Shop in Melbourne.
Masih banyak lagi cerita2
tentang para imigran yang datang ke Australia. Contohnya para imigran dari
negara2 konflik. Mereka berjuang mati2an waktu baru nyampe di Melbourne karena
kendala bahasa yang sama sekali mereka ga ngerti. Tapi bagi mereka kendala
bahasa jauh lebih ringan ketimbang di negara mereka sendiri yang tidak tau hari
esok apakah masih bisa hidup atau nggak. Ketika ga punya pilihan kadang manusia
malah justru jadi kreatif dan lebih kuat menghadapi rintangan hidup. Tapi kalo
masih punya pilihan, seringnya malah menunda dan ga mau melangkah ke pilihan
yang lain dengan alasan ga punya keberanian atau menunggu waktu yang tepat. Dan
sepanjang hari mengeluhkan hidupnya yang susah, atau kondisi kerjaan yang ga
kondusif lagi.
Teman, ayo melangkahlah. Saya pun
sama seperti kalian, takut mengambil resiko dan takut akan hari esok yang ga ada
kepastiannya. Tapi saya belajar untuk mengalahkan rasa takut itu. Bahkan sampe
sekarang pun saya masih belajar untuk melakukannya. Kenapa? Karena saya masih
merasa takut. Saya pernah baca satu artikel yang berbunyi begini: “Lakukanlah
apa yang membuat dirimu takut dan gemetar. Hanya dengan itu kamu bisa melihat
pelangi dalam hidupmu.” Hidup jadi penuh warna, kawan. Lakukanlah selagi punya
kesempatan. Jangan menunda. Persiapkan segalanya dengan matang, lalu action!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar