Los Angeles, lima tahun yang lalu...
“Douglas O’Neil?” Tanya Francesco. Sebenarnya dengan
sekali pandang saja dia sudah tahu kalu pria muda yang berdiri di ambang pintu
dengan rambut acak-acakan dan bertelanjang dada itu adalah adik tirinya. Mereka
seperti pinang dibelah dua walaupun usia dan ibu mereka berbeda. Douglas tidak
kalah terkejutnya. Selama ini ibunya tidak pernah berverita kalau dia mempunya
saudara.
“Ya, aku sendiri.” Jawab Douglas bingung.
Francesco melewati Douglas dan duduk di sofa ruang tamu
apartemen yang sempit itu. Keadaan apartemen itu seperti kapal Titanic yang
dilanda badai. Douglas mengangkat bahu lalu duduk di depan Francesco.
“Aku kakak tirimu.” Kata Francesco.
“Melihat kemiripan wajah kita kukira hal itu tidak perlu
disangsikan lagi.” Jawab Douglas seenaknya.
Francesco tidak memperdulikan komentar Douglas.
“Siapkah kau memasuki keluarga Ambrosetti, Douglas
O’Neil?”
26 Juni
“Di sinilah aku sekarang.” Pikir Douglas. Ibunya sudah
melarang mati-matian agar dia jangan berhubungan dengan keluarga Ambrosetti.
Kehidupan mafia sangat berbahaya dan penuh intrik serta kekejaman. Selama dua
puluh tahun terakhir ini Tracy berusaha menyembunyikan diri dari Luciano
Ambrosetti untuk menjauhkan Douglas dari keluarga itu. Tapi Douglas sudah bosan
hidup miskin. Dia tidak sudi tinggal di apartemen murah itu lagi dan bekerja
sebagai pebgantar pizza seumur hidupnya. Douglas O’Neil sudah berubah manjadi
Douglas Ambrosetti sekarang.
“Aku akan melakukan apa saja agar Frank mempercayaiku.
Aku tidak mau dan tidak akan diremehkan oleh siapapun. Membunuh gadis selemah
Lucia adalah hal kecil.” Pikirnya.
“Frank...” Lucia berlari menghampiri Douglas.Lamunan
Douglas pun terputus.
“Ada apa sayang?”
“Aku ingin berkuda ke atas bukit.”
“Baiklah, kutemani kau.”
Lucia tertegun, Francesco tidak pernah mau berkuda lagi
sejak dia jatuh dari punggu kudanya di usia sepuluh tahun.
26 Juni, tengah malam
“Frank, apa boleh aku bertanya?”
“Apa?”
“Mengapa kau ingin membunuh Lucia?”
“Karena dia terlalu banyak tahu.”
“Hanya itu?”
“Aku sudah bosan padanya.”
“Tidak adakah jalan yang lebih baik?”
“Jangan bertanya lagi!” Francesco menutup teleponnya.
28 Juni
Satu per satu Lucia mulai melihat keanehan pada diri
Francesco yang bersamanya sekarang.
“Frank seorang
vegetarian, tetapi di sini ia melahap semua makanan yang terbuat dari daging.
Selain itu dia selalu mau menemani aku berkuda. Dengan mengabaikan wajahnya aku
pasti yakin kalau dia bukan Frank.” Pikir Lucia heran.
Lucia memasuki kamar Douglas. Didengarnya pria itu sedang
mandi. Lucia membongkar semua laci meja untuk menemukan petunjuk yang bisa
meyakinkannya bahwa pria yang bersamanya saat ini bukan Frank. Benda itu
ditemukannya di laci paling bawah. Dengan tenang Lucia duduk di tempat tidur
Douglas, menunggu selesai mandi.
“Lucia?” Douglas keluar dari kamar mandi lima menit
kemudian. Air menetes ke lantai dari rambutnya yang basah.
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan.” Kata Lucia sambil
tersenyum manis.
“Tunggu sebentar.” Sahut Douglas sambil membelakangi
Lucia. Dia membuka laci paling bawah lalu mencari sesuatu di dalamnya.
“Percuma saja kau mencari, Frank. Kau mencari ini bukan?”
Douglas terperanjat melihat kontak lensanya ada di tangan
Lucia. Sekarang Lucia sudah melihat mata birunya.
“Aku sudah tahu kau bukan Frank.”
“Maafkan aku.” Douglas salah tingkah melihat sikap Lucia
yang begitu tenang.
“Mata birumu bagus, untuk apa kau menutupinya?”
“Dengar dulu Lucia, aku...”
“Tak perlu kaujelaskan. Cukup jawab dengan ya atau
tidak.”
“Tapi...”
“Frank yang merencanakan semua ini bukan?”
“Aku...” douglas berusaha menyangkal akan tetapi langsung
dipotong oleh Lucia.
“Ya atau tidak?”
“Ya...”
“Frank menyuruhmu untuk membunuhku bukan?”
“Itu...”
“Bunuhlah aku sekarang.” Lucia menyodorkan pistol kepada
Douglas.
28 Juni, tengah malam
“Apa maksud perbuatanmu ini?” Suara seorang wanita
terdengar.
“Dia harus disingkirkan. Hanya boleh ada satu ahli waris
dalam keluarga Ambrosetti.“ Kali ini suara pria yang menjawab.
“Kapan?”
“Independence day.”
Telepon ditutup...
2 Juli
“Sudah lebih dari seminggu kita di sini, Doug. Frank akan
curiga bila kau belum juga membunuhku.” Kata Lucia. Mereka berdua duduk di
punggung kuda masing-masing memandang lembah yang menghijau di kaki tebing
tepat di bawah mereka.
“Aku tahu.” Jawab Douglas. Dia sudah merasa cemas sejak
pertama kali melihat Lucia di pesta pertunangan Antonio. Dia takut, Lucia
begitu menarik. Dia khawatir tidak tega membunuh Lucia. Kekhawatirannya menjadi
kenyataan dan yang lebih buruk lagi dia sudah jatuh cinta pada gadis itu.
“Apa yang akan kita lakukan?” Tanya Lucia.
“Aku sendiri belum tahun.”
“Doug, aku punya rencana. Mungkin ini bisa menyelamatkan
kita berdua.” Kata Lucia tiba-tiba.
3 Juli
“Frank, datanglah kemari besok pukul sepuluh pagi.”
“Ada apa?”
“Akan kubunuh Lucia dihadapanmu.”
“Untuk apa?”
“Untuk memastikan bahwa aku benar-benar telah
membunuhnya.:”
“Aku percaya padamu.”
“Kau pernah berkata jangan percaya sebelum kau melihatnya
dengan mata kepala sendiri.”
4 Juli – Independence Day of The United States of America
“Mana Lucia?” Tanya Francesco. Douglas menyambutnya di
depan pintu.
“Di kamarnya. Tenang saja, dia tidak curiga sama sekali.”
“Mana pistolmu?”
“Untuk apa?”
“Siapa tahu kau lupa mengisinya dengan peluru.”
Douglas memberikan pistolnya dengan berat hati. Francesco
mendahului Douglas ke kamar Lucia. Pintu kamar itu tertutup.
“Kau masuk dulu.” Francesco memberikan pistol itu ke pada
Douglas.
Semua terjadi begitu cepat. Douglas masuk ke kamar Lucia
diikuti Francesco. Lucia tidak sempat terkejut lebih lama. Douglas menembaknya
tepat di dada dan Lucia langsung roboh ke lantai. Douglas menghampirinya.
“Dia sudah mati, Frank.”
“Bagus.” Francesco keluar dari ruangan itu.
“Lucia, bangunlah! Frank sudah pergi, kita berhasil.”
Douglas mengguncang tubuh Lucia. Lucia tetap diam.
“Lucia, hentikan sandiwaramu! Kita harus cepat-cepat
pergi dari sini.” Desak Douglas. Dia mengangkat tubuh Lucia dan terlihat
genangan darah di bawahnya.
“Percuma kau memanggilnya. Dia sudah mati.” Tiba-tiba Francesco
muncul di ambang pintu.
“Kau...” Douglas hendak menyerang Francesco.
“Berhenti!” Francesco menodongkan pistol ke arah Douglas.
"Kau menukarkannya, kau menukar pistolku!” Geram
Douglas.
“Aku Cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Ayah
menunjukmu sebagai ahli waris dan aku tidak terima. Kau harus mati.” Jawab
Francesco dingin.
“Lucia sudah mati. Tidak ada artinya lagi aku hidup.”
Douglas merebut pistol dari tangan Francesco dan menembakkannya ke kepalanya
sendiri.
Pukul sebelas tepat Lucia membuka matanya lalu bangkit
menghampiri Francesco.
“Obat penghilang denyut nadi ini benar-benar hebat,
tetapi darah ayamnya membuatku ingin muntah.” Kata Lucia.
“Ayo, kita pergi ke Bahama.” Francesco merangkul Lucia
keluar dari kamar itu.
--- TAMAT ---