Kamaren Sabtu, 25 Juni jadwal saya dan Kristina untuk refresing. Tapi karena Kristina ada kelas terlebih dahulu di pagi harinya sampai pk. 15.00 jadi terpaksa rencana kami untuk makan enaknya pada waktu dinner. Dan kami berencana untuk makan malam kali ini bersama temen dari Bandung yang kebetulan dateng ke Aussie pake visa yang sama dengan kami. Kami kenal mereka pun di sini karena direkomendasiin dari agent kami untuk kontak beberapa orang yang udah berangkat terlebih dahulu ke aussie menggunakan Work and Holiday Visa (WHV). Kami kontak mereka karena kami perlu bertanya kira2 seperti apa aussie dari segi biaya hidup sampe susah atau gampang cari kerja. Jadi pada waktu nanti kami sampe aussie ga kaget dan stres. Apalagi ini kali pertama bagi kami ke luar negeri menggunakan visa. Belom lagi kami ditakut2in sama om kami dari Syney yang bilang kalo dia punya temen yang katanya pake visa juga tapi di passport nya di cap Cuma boleh 3 bulan aja di aussie. Tapi om kami ini ga menjelaskan lebih lanjut visa apa yang dipake sama temennya itu. Intinya informasi yang dia tau Cuma sedikit tapi bikin kami sport jantung.
Nama teman kami kali ini adalah Myrazita dan Justian. Mereka bukan suami-istri, mereka juga bukan pasangan yang dimabok cinta walaupun mereka tinggal satu atap waktu di Bandung maupun di aussie ini. Mereka adalah kakak beradik kandung yang cukup membuat saya kagum dan kaget kalo ternyata umur mereka lebih muda dari kami. Myra sebagai cicinya Justian umurnya aja baru se-Leo (adik saya, 1985) sementara Justian nya sendiri kelahiran 1988. Yang bikin kagum adalah mereka masih muda tapi udah berani merantau begitu jauh dari orang tua mereka. Kalo ngeliat mereka rasanya kami kalah start karena mereka yang masih begitu muda udah kepikiran dan mau berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Jujur aja saya bilang hal yang serupa ke mereka, tapi apa tanggapan mereka justru malah bikin saya shock dan lebih termotivasi lagi. Di tempet kerja mereka (Nando’s Restaurant) ada 2 orang lokal yang kerja seperti mereka umurnya baru 20 tahun. Mereka bilang kalo tujuan mereka kerja di umur yang harusnya sibuk belajar adalah untuk mengumpulkan uang supaya bisa beli rumah. WHAT??? Rumah? Iya rumah, bukan lagi mobil ataupun i-pod yang lagi jadi tren masa kini buat anak2 seumuran mereka di Indo.
Sedih campur malu, tapi pikiran kebuka. Kini saya tau kenapa Indonesia ga bisa maju, karena pola pikir SDM nya ga ada yang seperti di aussie. Sedih karena saya merasa terlambat untuk memulai walaupun kata Justian lebih baik terlambat dari pada mereka yang ga pernah melakukan apa2 apalagi memulainya. Malu karena umur 20 tahun saya masih ngemis orang tua untuk bayarin kuliah dan biaya idup di Yogya. Jadi pertemuan kali ini bukan sekedar makan pizza yang katanya ini adalah restoran pizza paling enak se-Melbourne ataupun berbasa-basi cang, cing, cong yang menurut Kristina adalah kegiatan menghambur2kan waktu. Tapi dari “cang, cing, cong” inilah saya semakin yakin kalo saya harus mengejar ketertinggalan saya. saya harus berjuang untuk kehidupan yang jauh lebih baik. Bukan Cuma “lebih baik” tapi harus “jauh lebih baik”. (Tolong jangan diartikan kehidupan yang “lebih baik” sebagai kehidupan dengan kondisi harta yang melimpah, tapi kehidupan yang penuh kebahagiaan dan pencapaian tujuan hidup.)
Jadi teringat kata2 direktur saya waktu penilaian karyawan akhir tahun 2009. “Gw waktu seumuran loe udah jadi supervisor dan megang perush A, B, C, dll. Tapi loe malah masih di sini2 aja.” Saya artikan ini sebagai kesuksesan pencapaian tujuan hidup dia. Berhubung saya udah menemukan tujuan idup saya bahwa kesuksesan saya dalam hidup bukan di karir perusahaan maka saya bertekad untuk mengejarnya bukannya semakin down dan merasa terhina. Kenapa saya harus mencapai kesuksesan? Supaya saya bahagia. Karena kalo saya bahagia, saya bisa membahagiakan orang lain. Bagaimana mungkin orang yang ga bahagia bisa membuat orang di sekitarnya bahagia? Contoh simpel, para atasan perempuan yang masih perawan tua, biasanya cenderung lebih nyebelin ketimbang atasan perempuan yang udah merit dan bahagia. Kenapa? Karena mereka stres dengan hidup mereka. Semakin tinggi karir mereka, semakin dikit cowok yang mau ngedeketin atau setidaknya selevel dengan mereka. Otomatis semakin susah mereka dapet pasangan idup. Ada teori “Masalah” yang pernah saya denger Cuma ga tau kebenarannya, tapi kalo melihat fakta yang terjadi di lapangan, teori ini bener. “Pria yang punya masalah di tempet kerja akan mempengaruhi kehidupan pribadinya. Tapi wanita yang punya masalah dengan kehidupan pribadinya akan mempengaruhi kerjaannya.” Jadi wanita yang punya masalah dengan pasangan hidup biasanya di kantor dia sengak dan belagu. Teori ini ga berlaku buat wanita yang ga punya masalah apakah dia punya/ga punya pasangan hidup.
Ini adalah kali ketiga kami ketemu Myra dan kali kedua ketemu Justian. Tapi dari pertemuan yang masih bisa diitung pake jari ini saya bisa simpulin bahwa cara bicara dan pola pikir mereka bener2 ga mirip orang Indo pada umumnya. Sambil ngegayem Salsiccia dan Inverno (jenis pizzanya) yang rotinya tipis (ga kaya Pizza Hut yang rotinya udah tebel isinya dikit) saya seperti sedang bicara dengan orang yang lebih pengalaman dari saya. Walaupun pizzanya enak tapi entah kenapa saya lebih tertarik mendengarkan cerita2 dan pengalaman mereka selama di sini sekaligus pandangan mereka tentang kehidupan di Indo. Ngegayem makanan enak sambil denger pengalaman menarik, kayanya belom pernah saya dapet selama kerja. Soalnya selama kerja di Jakarta saya beli makan dari warteg yang sama melulu dan budgetnya ga boleh lebih dari Rp 5,000 dan pembicaraan dengan temen2 kantor ya paling seputar gosip2 orang kantor atau artis.