About Me:

Saya adalah seorang manusia gila yang terlalu banyak uneg-uneg & obsesi yang belom tercapai. Sebagian orang menilai saya adalah orang yang sedang mencari jati diri. Pernyataan tersebut hampir betul dikarenakan sedikitnya waktu bagi saya untuk menemukan apa yang saya benar2 inginkan dalam hidup ini. Tak ada ruang untuk berekspresi, berkreasi, dan menjadi gila di dunia yang naif ini. Alhasil, terciptalah saya sebagai pribadi yang terkesan eksplosif, dableg & sering keluar dari jalur. Kebahagiaan & kesenangan yang saya rasakan pun terkadang tidak pernah bisa dibagikan dengan orang lain, padahal Chistopher McCandless berpesan di akhir hayatnya: "Happiness only real when it shared". Untuk itulah blog ini tercipta, ga masalah orang2 yang baca mo menanggipnya atau tidak, ga masalah jika para pembacanya menjadi antipati atau termotivasi karena topiknya, yang penting saya sudah berbagi supaya ada sedikit cahaya kebahagiaan dalam hidup saya ini.

Minggu, 26 Juni 2011

+39

Kamaren Sabtu, 25 Juni jadwal saya dan Kristina untuk refresing. Tapi karena Kristina ada kelas terlebih dahulu di pagi harinya sampai pk. 15.00 jadi terpaksa rencana kami untuk makan enaknya pada waktu dinner. Dan kami berencana untuk makan malam kali ini bersama temen dari Bandung yang kebetulan dateng ke Aussie pake visa yang sama dengan kami. Kami kenal mereka pun di sini karena direkomendasiin dari agent kami untuk kontak beberapa orang yang udah berangkat terlebih dahulu ke aussie menggunakan Work and Holiday Visa (WHV).  Kami kontak mereka karena kami perlu bertanya kira2 seperti apa aussie dari segi biaya hidup sampe susah atau gampang cari kerja. Jadi pada waktu nanti kami sampe aussie ga kaget dan stres. Apalagi ini kali pertama bagi kami ke luar negeri menggunakan visa. Belom lagi kami ditakut2in sama om kami dari Syney yang bilang kalo dia punya temen yang katanya pake visa juga tapi di passport nya di cap Cuma boleh 3 bulan aja di aussie. Tapi om kami ini ga menjelaskan lebih lanjut visa apa yang dipake sama temennya itu. Intinya informasi yang dia tau Cuma sedikit tapi bikin kami sport jantung.


Nama teman kami kali ini adalah Myrazita dan Justian. Mereka bukan suami-istri, mereka juga bukan pasangan yang dimabok cinta walaupun mereka tinggal satu atap waktu di Bandung maupun di aussie ini. Mereka adalah kakak beradik kandung yang cukup membuat saya kagum dan kaget kalo ternyata umur mereka lebih muda dari kami. Myra sebagai cicinya Justian umurnya aja baru se-Leo (adik saya, 1985) sementara Justian nya sendiri kelahiran 1988. Yang bikin kagum adalah mereka masih muda tapi udah berani merantau begitu jauh dari orang tua mereka. Kalo ngeliat mereka rasanya kami kalah start karena mereka yang masih begitu muda udah kepikiran dan mau berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Jujur aja saya bilang hal yang serupa ke mereka, tapi apa tanggapan mereka justru malah bikin saya shock dan lebih termotivasi lagi. Di tempet kerja mereka (Nando’s Restaurant) ada 2 orang lokal yang kerja seperti mereka umurnya baru 20 tahun. Mereka bilang kalo tujuan mereka kerja di umur yang harusnya sibuk belajar adalah untuk mengumpulkan uang supaya bisa beli rumah. WHAT??? Rumah? Iya rumah, bukan lagi mobil ataupun i-pod yang lagi jadi tren masa kini buat anak2 seumuran mereka di Indo.

Sedih campur malu, tapi pikiran kebuka. Kini saya tau kenapa Indonesia ga bisa maju, karena pola pikir SDM nya ga ada yang seperti di aussie. Sedih karena saya merasa terlambat untuk memulai walaupun kata Justian lebih baik terlambat dari pada mereka yang ga pernah melakukan apa2 apalagi memulainya. Malu karena umur 20 tahun saya masih ngemis orang tua untuk bayarin kuliah dan biaya idup di Yogya. Jadi pertemuan kali ini bukan sekedar makan pizza yang katanya ini adalah restoran pizza paling enak se-Melbourne ataupun berbasa-basi cang, cing, cong yang menurut Kristina adalah kegiatan menghambur2kan waktu. Tapi dari “cang, cing, cong” inilah saya semakin yakin kalo saya harus mengejar ketertinggalan saya. saya harus berjuang untuk kehidupan yang jauh lebih baik. Bukan Cuma “lebih baik” tapi harus “jauh lebih baik”. (Tolong jangan diartikan kehidupan yang “lebih baik” sebagai kehidupan dengan kondisi harta yang melimpah, tapi kehidupan yang penuh kebahagiaan dan pencapaian tujuan hidup.)

Jadi teringat kata2 direktur saya waktu penilaian karyawan akhir tahun 2009. “Gw waktu seumuran loe udah jadi supervisor dan megang perush A, B, C, dll. Tapi loe malah masih di sini2 aja.” Saya artikan ini sebagai kesuksesan pencapaian tujuan hidup dia. Berhubung saya udah menemukan tujuan idup saya bahwa kesuksesan saya dalam hidup bukan di karir perusahaan maka saya bertekad untuk mengejarnya bukannya semakin down dan merasa terhina. Kenapa saya harus mencapai kesuksesan? Supaya saya bahagia. Karena kalo saya bahagia, saya bisa membahagiakan orang lain. Bagaimana mungkin orang yang ga bahagia bisa membuat orang di sekitarnya bahagia? Contoh simpel, para atasan perempuan yang masih perawan tua, biasanya cenderung lebih nyebelin ketimbang atasan perempuan yang udah merit dan bahagia. Kenapa? Karena mereka stres dengan hidup mereka. Semakin tinggi karir mereka, semakin dikit cowok yang mau ngedeketin atau setidaknya selevel dengan mereka. Otomatis semakin susah mereka dapet pasangan idup. Ada teori “Masalah” yang pernah saya denger Cuma ga tau kebenarannya, tapi kalo melihat fakta yang terjadi di lapangan, teori ini bener. “Pria yang punya masalah di tempet kerja akan mempengaruhi kehidupan pribadinya. Tapi wanita yang punya masalah dengan kehidupan pribadinya akan mempengaruhi kerjaannya.” Jadi wanita yang punya masalah dengan pasangan hidup biasanya di kantor dia sengak dan belagu. Teori ini ga berlaku buat wanita yang ga punya masalah apakah dia punya/ga punya pasangan hidup.

Ini adalah kali ketiga kami ketemu Myra dan kali kedua ketemu Justian. Tapi dari pertemuan yang masih bisa diitung pake jari ini saya bisa simpulin bahwa cara bicara dan pola pikir mereka bener2 ga mirip orang Indo pada umumnya. Sambil ngegayem Salsiccia dan Inverno (jenis pizzanya) yang rotinya tipis (ga kaya Pizza Hut yang rotinya udah tebel isinya dikit) saya seperti sedang bicara dengan orang yang lebih pengalaman dari saya. Walaupun pizzanya enak tapi entah kenapa saya lebih tertarik mendengarkan cerita2 dan pengalaman mereka selama di sini sekaligus pandangan mereka tentang kehidupan di Indo. Ngegayem makanan enak sambil denger pengalaman menarik, kayanya belom pernah saya dapet selama kerja. Soalnya selama kerja di Jakarta saya beli makan dari warteg yang sama melulu dan budgetnya ga boleh lebih dari Rp 5,000 dan pembicaraan dengan temen2 kantor ya paling seputar gosip2 orang kantor atau artis.

Minggu, 19 Juni 2011

Bamboe Restaurant

Semalem kami abis hunting makanan indo yang letaknya di pinggiran kota atau kalo bahasa orang sini nyebutnya Suburb (singkatan dari suburban, kalee...) kalo orang Indo nyebutnya “... coret” (Misal: Jakarta coret; pinggiran Jakarta). Awalnya ke situ bukan mo hunting makanan, tapi tujuannya adalah untuk memenuhi panggilan temen kami Dicky yang kebetulan kerja di situ untuk mampir.

Oya, saya kenalin dulu, Dicky ini adalah temen kami di Persekutuan Mahasiswa Melisia Christi semasa kuliah di Yogyakarta. Dicky aslinya dari Riau dan dia di sini kuliah Coockery sambil kerja jadi tukang cuci piring. Agak shock sebenernya waktu tau ternyata jadi tukang cuci piring di sini karena waktu kuliah di yogya dia keliatan modis dan termasuknya orang mampu lah. Ditambah ngeliat badannya yang kurus tinggi dan keliatan ga ada power. Karenanya saya cukup kaget setelah saya jalanin pekerjaan sebagai tukang cuci piring juga, pekerjaan ini memang berat dan butuh energi ekstra ketimbang kerjaan sebagai accounting atau programer komputer.

Ok, itu sedikit perkenalan tentang Dicky. Jadi ceritanya sebelumnya kami sempet ketemuan sama Dicky beberapa minggu lalu tepatnya 25 Mei 2011. Kami dan Dicky janjian untuk ketemuan karena terakhir saya ketemu Dicky waktu masih Yogya. Sementara kalo Kristina sempet ketemu Dicky waktu di jakarta karena cicinya Dicky kebetulan 1 kantor sama Kristina. Jadi kami janjian makan malem bareng di Old Town Kopitiam Mamak, restoran Malay yang letaknya masih di Melbourne CBD, tepatnya bersebrangan dengan Max Brenner Chocolate. Nah kebetulan waktu itu kami bayarin makanannya Dicky dan dari situ kayanya Dicky pengen bales bayarin jadi dia selalu ngajak ketemuan lagi tapi kami bener2 ga kepikiran kalo Dicky bakalan bayarin kita karena pikir saya, ah dia kan lagi sibuk kerja dan kami ke situ Cuma sekedar mampir untuk ketemu dia dan sekalian nyobain masakan restoran tempet dia kerja karena kata Dicky masakannya enak2. Nama restorannya Bamboe dan memang asli enak, nanti saya ceritain detail tentang makanannya.

Nah, baru semalem setelah Kristina pulang kursus, kami langsung cabut naik kereta jurusan Glen Waverley dan turun di Holmesglen. Kurang lebih koprol 4-5 kali (alias deket) restorannya udah keliatan kok, cuman memang butuh mata yang jeli untuk nemu restorannya karena sepanjang jalan itu restoran semua dan semuanya pasang papan nama. Setelah sampe di Bamboe, Dicky langsung keliatan dan langsung menyambut dengan table menu nya. Saya tipe orang yang kalo dikasi banyak pilihan malah tambah bingung, jadinya saya langsung tembak ke Dicky kira2 menu apa yang menurut Dicky enak. Dia bilang kalo suka pedes nih dia (sambil nunjukin gambar yang nempel di tembok restoran) namanya Nasi ayam bakar sambal Padang. Langsung aja saya pesen itu satu dan kebetulan ada es teler juga sekalian dipesen karena saya mo bandingin sama punya Es Teler 77. Sementara Kristina tipe seneng makanan yang bertepung  dan digoreng, jadi dia pesen Nasi cumi goreng tepung dan Tahu isi goreng.

Singkatnya dari 4 menu yang saya pesen ini semuanya enak dan emang beneran aja Nasi ayam bakar sambal Padang nya bener2 nabok plak... plok... Bukan Cuma pedes doank tapi rasanya enak juga. Waktu suapan pertama, kedua, ketiga rasa pedes yang saya nanti2kan belom kunjung dateng. Tapi pas suapan ke tujuh, mak ileee... Nyus banget! Ingus mulai berceceran di atas bibir menambah sedapnya menu ini. Air mata juga mulai ngocor kaya keran bikin suasana makan makin dramatis aja. Jidat dan ketek pun ikut2an ngeluarin cairan biar makin komplit dan mirip pepatah “Sambil menyelam minum air”, sambil makan sambil olahraga. Apalagi pas suapan terakhir (kalo makannya ga berenti2), gilaaaa... bener2 ketabok kanan-kiri, rasanya badan seger banget dan aliran darah lancar. Cuaca lagi dingin tapi badan kerasa anget banget, pokoknya enak banget dah ini makanan. Beda banget sama menu Es Teler 77 yang menurut saya kurang greget walaupun Es Teler 77 juga punya sambel yang pedesnya nabok juga, sambel terasi yang pake cabe merah, tapi rasanya itu ga senikmat sambel padangnya Bamboo yang pake cabe rawit. Tapi sekali lagi ini subjektif, menurut saya enak banget, tapi pas Kristina nyoba (kebetulan dia ga suka pedes), dia bilang rasa pedesnya tuh sampe pahit jadi menurut dia itu ga enak.

Perlu saya paparkan di sini efek negatif dari makanan yang saya makan adalah sampe detik dimana artikel ini lagi saya ketik saya udah dikerjain ke WC sampe 3x dan rasa mulesnya masih belom ilang. Tapi anehnya masih mo nyoba lagi makanannya, hahaha... Ok, lanjut ceritanya. Setelah ngegayem ayamnya terus, lama kelamaan baru keliatan kalo ada telor yang dibelah dua di dalam tumpukan ayam. Oya, ayam bakarnya ini ga pake tulang lho ya, jangan bayangin ayam bakar sepotong bersama tulangnya. Ayam bakarnya ini udah dipotong2 dipisahin dari tulang. Kalo ngeliat menu ini jadi inget sama menu Nasi Pecel nya Es Teler 77 yang juga ada telurnya di tumpukan sayuran yang dikasi saos kacang. Makan makanan kaya gini mengasyikan buat saya karena lagi asik2nya makan eh ada kejutan “harta karun” yang ga keliatan pada waktu penyajian.

Sekarang makanannya Kristina nasi cumi goreng tepung, yang menurut saya ini enak juga. Tapi sayangnya rasa seperti ini udah biasa dan bisa didapatnya di masakan2 chinese di luar sana termasuk di Indo pun saya yakin ada yang bisa bikin dengan rasa yang mirip2. Jadi rasanya kurang sesuai selera saya. Tapi buat Kristina, ini memang makanan yang cocok dan sepertinya sesuai seleranya dia. Sementara tahu goreng isi yang dijual di sini punya cita rasa yang unik buat saya. Rasa tepungnya itu beda banget sama Tahu goreng isi yang pernah saya makan di Indo. Walaupun seporsi isinya Cuma 3 tapi saya ga mampu lagi untuk ngabisin karena terlalu kenyang dengan menu utama. Belom lagi es teler yang kami pesan sebagai desertnya.

Ini dia uniknya Bamboe restoran, dalam hal service mereka udah mirip2 restoran elit. Ya walaupun harganya lebih mahal dari Es Teler 77 tapi termasuknya masih lebih murah dari restoran mahal. Kurang lebih harganya mirip2 sama Nando’s. Mereka nyamperin ke meja customer dan mencatat setiap pesenan customer bukan customernya yang ngantri di depan kasir dan bayar dulu sebelum makan seperti di Es Teler 77. Mereka memperhatikan kapan menu tersebut layak untuk disajikan, contohnya aja es teler yang kami pesen, sebagai desert ini dikirimnya terakhir. Kalo di Es Teler 77, customer pesen apa, yang udah jadi duluan ya kirim langsung ke customer ga perduli itu desert atau menu utama yang penting pesenan customer terkirim semua.

Dan terakhir saya mau mengomentari menu terakhir kami, es teler. Ini dia lucunya dari restoran tempet saya kerja. Namanya Es Teler 77 tapi menu es telernya kalah jauh sama yang punya Bamboo padahal harganya sama. Saya sih belom pernah nyoba es teler dari Es Teler 77 tapi setiap kali saya ngangkut gelas customer yang es teler nya belom habis di situ keliatan banget es telernya encer. Sementara es teler pesenan kami ini kami makan dengan sangat lambat karena kami udah kekenyangan dengan menu utama dan cemilan tahu goreng isi otomatis es teler nya udah cair. Anehnya tetep aja kentel dan rasa santennya kerasa banget dan bener2 enak.

Jadi kalo secara keseluran melihat dari segi kualitas kepuasan dan enaknya menu, saya lebih milih Bamboe Restaurant walaupun Bamboe lebih mahal $1-3/menu tapi worthed. Sayangnya tempetnya bukan di pusat kota jadi sulit untuk dijangkau.

Oya, semua menu kami ini dibayarin Dicky. Bah, malah gantian kami yang ngerasa utang, soalnya kalo di kira2 menu kami tuh abisnya bisa $37, sementara waktu kami bayarin Dicky Cuma $15. Besok2 ngajak ketemua Dicky lagi deh, biar bisa bales traktir...

Lupa bilang, restoran Bamboe bukan restoran halal seperti Es Teler 77 karena saya liat ada menu sate babi dan Nasi iga babi. Mungkin karena ga halal itu kali ya makanya enak.

Senin, 13 Juni 2011

Unhappiness

Entah harus merasa beruntung atau bersedih hati ketika menyadari harus dilahirkan di keluarga saya saat ini. Sepertinya bagi mereka uang adalah segalanya dan tidak ada yang lebih penting daripada uang karena dengan uang menurut mereka kesejahteraan hidup akan meningkat dan kebahagiaan sejati bisa diraih. Saya sih bisa memaklumi kenapa mereka bisa begitu soalnya dari kecil sampe kami (saya dan Leo, adik saya) melihat perjuangan mereka berdua untuk menghidupi keluarga ini sampai harus melupakan segala sesuatu demi meningkatkan jumlah rupiah yang masuk ke kantong dan mengirit dari segala aspek supaya ada simpanan untuk kami sekolah.

Otomatis saya dan Leo yang dididik dari budaya orang tua yang seperti itu menjadikan kami kurang lebih mirip2lah kaya mereka. Tapi buat saya ini cukup aneh. Saya yang dididik dari kecil dan punya pola pikir tentang uang mirip2 kaya orang tua saya kenapa bisa berubah dan ga terlalu kaku seperti mereka? Begitu juga Leo, saya melihat dia ga sekaku orang tua kami. Bahkan Leo pun sering berselisih paham dari banyak aspek kehidupan yang menyerempet2 ke faktor uang dengan orang tua kami. Artinya ada sesuatu yang bikin kami beda dengan orang tua kami meskipun didikan dari kecil tentang uang begitu kuat.

Saya mencoba untuk sedikit melankolis dan memikirkan permasalahan ini dalam2. Karena saya harus tau akarnya jadi saya bisa memahami mereka. Kalo saya ga coba memahami mereka selamanya kami akan seperti kucing dan anjing, akan selalu berdebat soal uang dan ga ada peningkatan. Hehehe... Peningkatan perdebatan ke arah apa ya? Mungkin berdebat soal politik gitu?

Setelah saya coba renungi dan mengingat2 kembali setiap perkataan dan nasehat2 mereka untuk kami, setiap perdebatan antar orang tua kami dan perdebatan dengan kami, akar permasalahannya cuma 1, Happiness (kebahagiaan), mereka tidak dapatkan itu sepanjang hidup mereka sampe detik ini. Mereka tidak peroleh kebahagiaan itu dari pasangan mereka karena mungkin masa lalu mereka waktu ngidupin saya dan Leo hanya uang yang diutamakan dan melupakan hal2 lain termasuk perasaan cinta terhadap pasangannya. Karena harus berhemat pula menjadikan mereka ga bisa menikmati hidup, ga bisa beli ini itu, mencicipi masakan restoran di sana atau jalan2 ke negeri antah berantah yang bisa sejenak menghapus isi otak yang kusut.

Sementara  saya dan Kristina dulu waktu di Jakarta biarpun stres sama lingkungan dan kerjaan, masih bisalah beli DVD untuk hiburan walaupun ga pernah nonton bioskop, atau makan paikut madunya Pu Tien, chicken wing nya Pizza Hut, atau jalan2 dan berinteraksi dengan orang lain. Karena dengan banyak berkomunikasi dengan orang lain kita akan semakin bisa menerima perbedaan kita dengan orang lain. Kita bisa menyadari bahwa perbedaan itu perlu. Kita bisa semakin dewasa dan tau cara bersikap seiring perkembangan jaman, jadi ga kolot dan ga berusaha memakaikan baju kita ke orang lain yang berbeda ukuran. Dan Leo pun begitu. Saya liat dia bisa menghargai dirinya sendiri misalnya kumpul2 sama temen SMA nya makan2, atau nonton bareng, atau ikut club futsal dari gereja, atau yang lainnya lagi mungkin yang saya ga tau. Intinya semakin banyak kita berinteraksi dengan orang lain otak kita semakin tajam dan terlatih jadi pola pikirnya ga dangkal (tumpul) dan menanggapi setiap permasalahan hidup bukan dengan pola pikir yang kolot. “Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya.”

Bagaimana dengan orang tua kami? Mama saya menganggap ngobrol2 sama orang lain itu tindakan konyol dan sia2, menghambur2kan waktu katanya. Bergosip dengan tetangga misalnya. Mendingan cari duit karena tawaran jaitan baju menumpuk (kebetulan mama saya tukang jahit). Karenanya mama saya ga pernah berkomunikasi dengan orang lain kecuali sama saudara2nya saja, itupun kalo ada acara kumpul2 doang, setahun paling2 4-5 kali. Jadi pola pikirnya stuck di situ aja. Karena ga pernah ketemu orang lain jadinya dia ga bisa menerima hal yang berbeda dari dia alias dia menganggap dirinya paling banyak tau dan benar. Nah, gimana dengan papa saya? Pribadi yang berlainan jauh dari mama saya. Dia justru lebih senang berbasa basi dan ketemu orang. Karenanya dia sedikit lebih memahami pola pikir saya dan Leo walaupun termasuknya kolot. Dan karena itu pula papa dan mama ga bahagia, karena mereka ga pernah ngobrol, bercerita, dan saling bertukar pikiran. Karena setiap kali papa ngajak ngobrol, mama menanggapinya dengan acuh tak acuh dan dengan sikap meremehkan karena buat dia itu ga penting. Karena ada gap yang begitu jauh antara mereka terutama dalam hal pola pikir menyebabkan mereka semakin ga bisa saling mengerti, dan semakin menghindari komunikasi karena setiap kali mulai berkomunikasi mereka selalu mengakhirinya dengan pertengkaran.

Lalu siapakah yang salah? Dimana2 istri ikut suami. Kepribadian dan pola pikir suami lama2 akan terduplikasi oleh istri juga, karena seumur hidup mereka bersama. Mama punya pola pikir tentang uang ini gara2 terduplikasi dari papa. Papa yang masa kecilnya suram dan selalu jadi anak buangan. Selalu mengemis untuk dipungut oleh saudara supaya bisa makan dan melanjutkan hidup. Kalo sodara yang ini udah ga mampu lagi dia langsung dikasi ke sodara yang lain, begitu seterusnya sampe dia dewasa dan bisa mulai cari duit sendiri. Makanya lulus SMP aja umurnya udah 17 tahun gara2 pindah sekolah terus karena yang mo nyekolahin ganti2 dan beda kota. Itu kalo lagi hoki, disekolahin. Kalo pas dapet sodara yang pelit boro2 disekolahin, yang ada dijadiin babu suruh kerja gajinya Cuma dikasi makan n tempat tinggal, jadi sekolahnya berantakan. Di kaki kiri papa ada bekas luka berbentuk lingkaran sedikit oval tapi ga beraturan, panjangnya kira2 15 cm. Saya pernah tanya itu bekas apa? Kok bentuknya kaya bekas jahitan? Dia jawab kalo itu bekas luka yang ga pernah kering selama bertahun2 waktu dia kecil. Saya ga bisa ngebayangin dia hidup, bergerak, bekerja, sekolah dengan koreng basah selama bertahun2, dengan bau yang ga enak apa lagi dipandang. Pahitnya idup, dibuang, disisihkan, kelaparan, diacuhkan, udah jadi bagian dari hidup dia di masa kecil. Saya  baru dapet cerita lagi tetang papa waktu kami ke tempet sepupu papa (saya manggilnya tante) di daerah Roxy. Jadi ceritanya papa pernah dipungut sama orang tuanya tante ini. Dipungutnya dimana? Di pasar lagi duduk melongo waplo dengan koreng yang tadi saya ceritain dan ga tau mo kemana dan berbuat apa. Waktu itu umurnya juga masih kecil mungkin di bawah 10 tahun, kelaparan di jalan (OMG, air mata gw netes... Ga gw banget sih ini?).

Pertanyaannya sekarang, kenapa korengnya ga sembuh2? Setahu saya walaupun koreng ga diobatin tubuh kita ini bisa pulih dengan sendirinya kok. Contohnya aja setiap luka yang saya dapet di tempet kerja, pasti kering walaupun ga pernah diobatin. Saya pernah menanyakan hal ini dan jawabannya adalah karena kekurangan gizi. Karena kekurangan asupan yang dibutuhkan tubuhnya makanya korengnya selalu basah. Udah bisa makan aja udah bersyukur banget katanya. Malah papa pernah bilang dia kalo makan telor 1 tahun Cuma 1x yaitu waktu ulang tahun doank.

Pertanyaannya sekarang, kenapa papa jadi begitu masa kecilnya? Jawabannya adalah karena orang tuanya bercerai dan dikarenakan ga punya uang untuk hidup jadi mamanya papa (nenek saya) menikah lagi dan papa dititipin di saudara. Pertanyaan lagi, kenapa kakek-nenek bisa bercerai? Karena faktor tidak bisa menerima perbedaan. Kondisinya adalah kakek-nenek dulu tinggal di rumah kakek bersama dengan mertuanya dan saudara2 dari kakek. Berdasarkan cerita yang saya dapet mereka ga suka karakter dan kebiasaan dari nenek, entah karakter apa yang dimaksud tapi gara2 itu mereka selalu menjelek2an nenek baik di belakang maupun di depan. Karena udah ga tahan akhirnya mereka bercerai.

Jadi kalo kembali lagi ke pertanyaan pertama, siapa yang salah? Yang salah adalah lidah2 sodara dan orang tua dari kakek yang ga bisa dikontrol dan kakek juga yang ga bisa mempertahankan hubungan mereka. Dan karena mereka ga bisa menerima perbedaan dan kenyataan bahwa setiap orang tidak ada yang sempurna, pasti ada sifat, sikap, atau kebiasaan buruk. Gara2 mereka kakek-nenek berccerai. Gara2 mereka masa kecil papa ga bahagia dan menderita. Gara2 mereka mama jadi ga bahagia. Dan gara2 mereka juga saya dan Leo ga pernah mendapatkan sanjungan atas prestasi kami. Gara2 mereka saya sulit untuk punya keinginan yang kuat dan impian akan masa depan yang jelas karena papa mama ga bisa mengarahkan kami.

Karenanya setelah menikah saya bertekad ga mau tinggal di rumah orang tua. Apalagi melihat orang tua saya yang kolot gitu, bisa2 nasib saya seperti kakek-nenek. Saya harus memutuskan rantai penyebab ketidak-bahagiaan yang udah turun temurun ini. Saya ga mau anak saya nantinya bernasib kaya papa saya. Membayangkannya aja udah ngenes banget, amid2 deh, jangan sampe kejadian. Cukup papa saya aja dan biarkan itu jadi pengalaman pahit dia yang bisa dibagikan dengan orang lain supaya jangan terjadi lagi pada orang lain.

Buat yang udah merit dan tinggal dengan mertua, jangan langsung berkecil hati. Liat dulu mertuanya. Ga semua mertua seperti orang tua saya. Segera kenali mereka dan kenali karakternya. Intinya kalo mereka bisa menerima perbedaan akan diri kita dan kita enjoy tinggal di situ, keep it going. Tapi kalo ga tahan, ga ada lagi yang perlu dipertimbangkan dan diperdebatkan. Segeralah pergi bersama suami/istri. Lebih baik keluar uang lebih banyak untuk sewa rumah daripada rumah tangga kita berantakan. “Laki-laki akan meninggalkan ayah-ibunya dan bersatu dengan istrinya.”

Sabtu, 11 Juni 2011

Rincian


Berikut ini adalah pertanyaan yang selalu muncul tiap kali saya atau Kristina chating atau message-an sama temen di Indo:
1.       Berapa gaji nya?
2.       Bisa nabung berapa tiap bulan?

Dan berikut ini perinciannya:
Gaji saya seminggu           : $525
Gaji Kristina seminggu       : $485
                                         -------
Total gaji per bulan ($1,010 x 4) : $4,040
Sewa share house sebulan        :($   600)
Transport sebulan                    :($   326)
Makan  pagi                            :($   280) à makan siang n malam dapet dari restoran
Sabun, shampoo, detergent,dll  :($   200)
Jajan sebulan                           :($  100)
                                                -----------
Total Saving kami sebulan          : $2,500  Ã  pembulatan dari $2,534

Sebenernya kami jajan jauh dibawah $300 sebulan. Tapi ya, anggep aja segitu. Itungannya kalo ada uang sisa ya berarti buat biaya dadakan, misalnya aja Kristina yang mo kursus Age Care, terus saya sendiri yang kursus Barista, atau mungkin biaya sakit. Amit2 sih, tapi Kristina yang secara daya tahan tubuhnya lebih lemah dari saya sejak tinggal di sini ga pernah sakit lagi. Kalo dulu di Jakarta minimal sebulan pasti ada sekali sakit tenggorokan, batuk, atau pilek.

Kamis, 09 Juni 2011

Pekerjaan Kedua

Pekerjaan kedua ini saya dapatkan dengan curigaan dulu sama pemilik sekaligus yang nelpon saya. Namanya Joe Moretto, dia pemilik usaha Cleaner, orang Italia yang hengkang ke aussie waktu masih remaja bersama orang tuanya. Sekarang dia udah punya istri orang aussie, 1 anak perempuan, dan 1 anak laki2. Joe kurang lebih seumuran sama papa saya, umurnya tahun ini 58 tahun. Bedanya, kalo papa saya tiap harinya ngeluh badannya sakit, perutnya sakit, jantungnya sakit. Sementara si Joe ini justru badannya sehat bugar, bahkan termasuknya kekar kali ya. Postur tubuhnya pun lebih tinggi dari saya. Oya, kenapa saya curiga dulu? Soalnya takut ditipu, maklumlah namanya juga pendatang baru dan saya ada masalah dengan listening dalam inggris sangat buruk, jadinya dia ngomong apa aja tuh waktu di telpon saya ga ngerti sama sekali. Jadi terpaksa waktu itu saya minta Reine, orang yang saya tebengin waktu pertama kali dateng ke aussie, untuk ngedengerin penjelasan dari dia.

Kerjaan yang ditawarin sama Joe ini adalah sebagai cleaning service. Joe lagi cari orang waktu itu untuk ngebersihin club malam di daerah Sorrento, salah satu club malam di Continental Hotel. Dia cari orang karena kalo dia ngerjain sendiri waktunya Cuma abis di jalan karena perjalanannya memang jauh. Kebetulan waktu itu saya masih tinggal di rumah Reine di Frankston (sebelah selatan Melbourne City), jadi untuk ke Sorrento (sebelah selatan Frankston) Cuma memakan waktu 3 jam bolak balik naik bis, dengan ongkos $5 (pake tiket MYKI). Sementara kalo Joe ngerjain sendiri perjalanannya bisa 6 jam karena rumah dia di Coburg, sebelah utara Melbourne City ditambah lagi ongkos bensin dan biaya toll, jadinya akan lebih murah kalo dia rekrut orang untuk ngerjain kerjaan ini.

Singkat cerita saya terima tawaran Joe untuk ngerjain bersih2 club malam ini. Kerjaannya harus dilakukan setiap Sabtu pagi dan Minggu pagi saja. Kenapa? Karena pubnya Cuma buka setiap Jumat malam dan sabtu malam kecuali kalo hari senin nya libur nasional, biasanya minggu malamnya juga buka. Tapi rutinnya adalah setiap Jumat malam dan sabtu malam. Nah perjanjiannya adalah gaji saya $17/jam dimana kerjaan setiap sabtu pagi saya Cuma dibayar 2 jam karena biasanya setiap jumat malam ruangan yang dipake untuk party Cuma 1 jadi saya Cuma perlu bersihin 1 ruangan aja. Sementara yang hari minggu saya dibayar 5 jam karena biasanya party di hari sabtu malam itu sampe make 2 ruangan.

Intinya Joe ga perduli saya mo mulai kerja jam berapa dan mampu menyelesaikannya berapa jam. dia Cuma bilang yang penting untuk kerjaan yang sabtu pagi, saya harus udah kelar sebelum jam 4 sore, soalnya karyawan pub nya mo nyiap2in untuk party sabtu malam. Ya, ga ada masalah lah, kan kerjaan sabtu pagi Cuma 1 ruangan, jadi cepet. Tapi kalo yang hari minggu, berhubung udah ga ada party lagi di minggu malam, jadi saya bisa kelarin kapan aja bahkan sampe malem pun bisa. Kerjaan ini mudah banget buat saya bahkan termasuk nya enak ya, soalnya saya dibayarnya tetep walaupun saya kerja lebih cepet/lambat. Maksudnya adalah misalnya aja tuh kerjaan yang hari minggu, kan saya dibayar 5 jam, kalo saya bisa ngerjain dalam kurun waktu 3 jam, saya tetep dibayar 5 jam. Gitu  juga kalo saya ngerjainnya terlalu lama misalnya sampe 5 jam, ya tetep aja dibayarnya Cuma 5 jam.

Sebenernya kerjaan ini termasuknya enak dan gampang. Permasalahannya Cuma di perjalanannya aja. Kalo Joe butuh waktu 5 jam karena dia naik mobil sendiri, sementara saya butuh waktu 7 jam karena harus naik kereta dari Ginifer Station ke Flinder St Station, terus ganti kereta dari Flinder St Station ke Frankston. Abis itu baru naik bis dari Frankston ke Sorrento. Total ongkos yang dihabiskan untuk bolak balik adalah $8.

Akhirnya setelah berdiskusi dengan Kristina, Asisten, sekretaris, penasehat utama, menteri keuangan sekaligus istri saya, kerjaan di hari sabtu pagi saya lepas aja. Pasalnya karena Cuma dibayar 2 jam sementara saya harus melewati perjalanan 7 jam. Kalo diitung2 secara uang sih masih untung, tapi ruginya di waktu aja. Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan hari sabtu sebagai hari libur saya, karena kebetulan Kristina juga libur di hari sabtu dan kami kan ke sini juga dalam rangka mengeksplor aussie, masa kerja melulu? Jadi kerjaan dari Joe sekarang Cuma saya ambil yang hari minggu aja dengan bayaran 5 jam x $17 per minggu.

Suka duka kerjaan ini adalah... Dukanya dulu deh ya... Adalah kalo pas lantainya lengket banget. Kayanya yang party2 semalem minumannya pada jatoh semua. Atau biasanya kalo pas pengunjungnya rame, biasanya lantainya lengket banget. Bah, udah deh, ngebersihinnya pasti lebih dari 4,5 jam. Padahal kalo pas ga terlalu lengket saya bisa ngerjain dalam waktu 3 jam. Jadi kalo pas lengket terpaksa pulangnya lebih malem. Nah, sukanya adalah selain kalo pas lantainya ga lengket saya bisa pulang lebih awal, hampir setiap minggu saya pasti nemu duit receh. Mulai dari $2 sampe yang terkecil $0.05 (read 5 sen). Sampe sejauh ini jumlah terbanyak duit yang pernah saya temuin adalah dipegang oleh $9.05, diurutan kedua adalah $7.85, dan diurutan ketiga adalah $ 6.70. Sebenernya pernah nemu duit $10 (uang kertas) tapi bukan lagi ngepel malainkan lagi belanja di Woolworths (nama supermarket), lagi bingung mo ngatur duitnya gimana biar pas sesuai budget, eh malah nemu duit. Di sekitar situ juga pas sepi ga ada orang, jadi bingung mo kasi ke siapa, duit siapa itu? Bener2 kaya dikasi dari langit biar cukup gizi kali maksudnya Babeh di Atas sono.

Oia, selain bisa pulang cepet kalo lantainya ga lengket dan sering nemu duit waktu ngepel, “Suka” yang lain adalah badan saya rasanya jadi lebih fit terutama di bagian belikat. Waktu masih kerja kantoran dulu rasanya kaya pegel melulu bagian situ dan pengennya dipijit terus. Tapi sekarang badan ga sempet lagi terasa kaku, malah masa otot bertambah besar (walaupun lingkar perut ga kecil2...). Intinya, kerja fisik bikin badan lebih sehat dan aliran darah lancar. Jadi buat yang masih tinggal sama ortu atau mungkin udah tinggal sendiri entah bener2 sendiri, sama pacar, selingkuhan atau sama istri sendiri (bukan istri orang), janganlah malas untuk cuci piring, nyapu, ngepel, ataupun angkut2 barang yang lain. Semuanya itu ada faedahnya kok tanpa kita sadari. Apalagi kalo nyuci baju manual, wah mantab tuh keringetnya...

Selasa, 07 Juni 2011

Pekerjaan Ketiga

Pekerjaan ketiga kali ini adalah sebagai tukang cuci piring di restoran frenchise Indonesia, namanya Es Teler 77. Pemiliknya berinisila K, awalnya saya kira dia orang Indo tapi ternyata salah. Dia dateng ke Aussie dengan cara yang aneh dan ga lazim. Bahkan mungkin anda sendiri pun ga akan mengira kalo dia bisa dengan cara itu nyampe sini.

Muka sih boleh kaya Tukul, tapi duitnya ngelebihin Tukul. Rumah aja di aussie ada 5, itu yang ketahuan, atau lebih tepatnya yang kedengeran sampe ke kuping para karyawannya. Yang ga ketauan jangan2 dia punya tanah atau mungkin gedung bertingkat yang disewain buat perkantoran. Yang pasti penghasilannya per bulan udah ga bisa diitung pake jari lagi dah. Dia aja pernah nunjukin kartu kreditnya ke saya. Untuk kartu kredit Platinum yang limitnya unlimited dia punya 6 biji dari 6 bank yang berbeda. Belom lagi yang Gold, aduh, bikin ga bisa mingkem.

Sebelumnya saya ceritain dulu gimana ceritanya dia bisa sampe ke aussie. K sebenernya adalah pejuang  demokrasi di negaranya. Maaf, ga bisa nyebutin nama negaranya sekaligus nama dari si K, karena negara mereka masih konflik dan karena alasan kode etik untuk menjaga kerahasiaan narasumber (halah! Sok penting). K bilang waktu dia ke ausie adalah untuk pertama kalinya punya passport dan keluar negeri. Dan yang bikin shock adalah passport yang dia pake adalah passport aussie, alias dia langsung jadi warga negara. Kok bisa? Ya, itulah untungnya lahir di negara konflik, negara seperti aussie ini siap menampung. Jadi ceritanya tiba2 aja K yang lagi berkutat di negaranya didatengin sama pemerintah aussie dan menawarkan mau ga jadi warga negara aussie? Belom juga dijawab mau atau nggak, besokan harinya, passport dan tiket pesawat atas nama dia langsung dikasi. Intinya akhirnya dia memutuskan untuk jadi pemain di balik layar untuk perjuangan partainya atau lebih tepatnya penyumbang dana.

Waktu sampe di aussie, K udah ga perlu pusing, rumah udah disediain, listrik, gas, air ga perlu bayar, tiap minggu dikasi uang $500 (ini termasuk tinggi untuk keadaan ekonomi aussie 15 tahun yang lalu). Semuanya disediain sama pemerintah aussie, K di sini Cuma numpang idup doank deh pokoknya. Dia bilang, kalo ada orang senegaranya yang ngajuin kewarganegaraan aussie dan ngakunya berasal dari 1 partai dengan dia, dia pasti ditelpon sama pemerintah aussie untuk mengidentifikasi orang tersebut. Kalo Koko bilang iya, saat itu juga orang tersebut langsung jadi warga negara aussie, tapi kalo dia bilang tidak, ya, da... da... Dia akan tetep di negaranya yang konflik itu. Abis denger cerita ini, gw tambah nganga lagi. Gila, bos saya satu ini berarti orang penting ya? Kok ga keliatan ya dari tampang n penampilannya? Ya ampun, ternyata bener pepatah bilang “Don’t judge the book from the cover.”

Ok, kembali ke cerita tentang kerjaan saya. Di sini saya kerjaannya serabutan. Dengan gaji $10/jam saya dikasi title “Kitchenhand” alias tukang cuci piring. Dari jam 9 pagi sampe 5 sore, dari hari Senin sampe Jumat, kerjaan utama saya adalah cuci piring tapi selama 8 jam kerja kan ga melulu ada customer yang dateng. Jadi kalo pas ga ada cucian piring saya bantu nyiapin makanan atau nganterin makanan ke customer sekaligus ngambilin piring2 yang abis dipake sama customer alias jadi waiter juga. Awal kerja di sini bener2 bikin stres pasalnya isinya orang2 bossy dan nganggep diri paling bener. Hukum senioritas berlaku di sini. Hmm... sebenernya ga semuanya bossy sih, Cuma 2 orang, tapi kok gara2 2 orang itu suasanya kerja jadi ga enak.

Namanya juga baru pertama kerja ya pastinya banyak hal baru yang belom kita ngerti, jadinya maklum donk kalo ada yang kelupaan 2 atau 3 macem kerjaan. Di sini ada 1 Indo berhubung dia udah senior jadi kalo bos ga ada ya dia lah yang ngasi tau apa yang harus dikerjain dan gimana ngerjainnya. Tapi kalo kita lupa dia langsung ngomongnya macem2. “Apa sih yang loe inget? Semua dilupain.” Atau kalo kita ragu2, ya daripada salah kan mendingan tanya biar lebih pasti. Tapi kalo kita tanya toaknya langsung bunyi “Waduh, gw ga tau tuh. Bukan kerjaan gw.” (dengan senyum2 kecil seolah2 ngetawain kita yang kebingungan karena lupa).

Sayang, cara ngajar orang Indo satu ini kurang bagus, hmm... lebih tepatnya sih ancur, gaya ngajar orang sok pinter gimana sih, kebayang kan? Ya dimaklumin lah, namanya juga orang kaya jadi udah biasa bossy, ga biasa untuk memahami orang lain. Lho, orang kaya kok kerja di restoran? Weh, jangan salah lho. Yang kerja di sini justru kebanyakan orang kaya. Apalagi mereka yang udah lama kerjanya (menurut logika saya). Karena di sini bayarannya kecil, kalo sampe mereka tetep bertahan di sini itu berarti mereka ga ada masalah dengan keuangan. Mo dibayar kecil atau gede yang penting adalah ada kesibukan dan penghasilan tambahan.

Orang bossy yang kedua berasal dari Nepal. Cewek satu ini sepertinya ga menyadari kalo speaking inggrisnya buruk. Mungkin karena dia orang lama ditambah lagi orang2 di sekitar dia ga ada yang komplain tentang pelafalan dia, jadi tambah PD lah dia dengan speakingnya. Ya, saya juga ga bilang saya lebih bagus dari dia. Saya sendiri punya masalah dalam listening, terutama kalo orang aussie yang ngomong, cepet banget. Tapi cewek satu ini justru lebih parah dari orang aussie, udah cepet, salah pula. Bah, pusing lah saya. Nah, yang terjadi adalah setiap kali saya dan anak2 baru lainnya bertanya 2 kali apa yang dia ucapkan dia langsung jawabnya dengan teriak, mirip banget deh kaya anjing (maaf, tapi beneran mirip kaya anjing yang merasa dibikin kesel gitu, terus langsung gonggong). Misalnya aja kata “Fry” dia ngucapinnya Freng. Heh? Saya waktu itu bingung dia ngomong apa. Saya pikir dia minta saya jujur (Frank), tapi jujur dalam hal apa? Saya bingung karena posisi saya waktu itu lagi di depan mesin cuci piring. Apa saya tadi salah masukin piring terus ketawan dan disuruh jujur?

Oya, ada kejadian anak baru dari Malaysia, cewek. Kebetulan dia disuruh nganter 2 makanan untuk nomor yang berbeda (di sini kalo beli makanan nanti di kasi nomor. Kalo makanannya udah jadi, waiternya nanti nganterin dengan memanggil nomornya). Pada waktu cewe Nepal ini nyebutin nomornya cewek malay tanya sekali lagi, “what number?” Ya, pastinya cewek malay ini kena gonggong lah. Nah, berhubung dia masih baru dia ga ngerti kali ya. Mungkin dia merasa dia yang salah karena ga bisa ngedenger dengan baik. Berangkat lah dia nganterin makanannya, entahlah dia nyebut angka berapa, tapi abis itu dia balik lagi dan tanya lagi “what number?” hahahaha... kasian cewe malay ini, kena gonggong 2x. Tau gitu kan sekalian aja kalo emang belom jelas, tanya sampe jelas baru berangkat.

Saya juga pernah lagi nih waktu mo nganter menu yang ga biasa. Jadi ceritanya ada customer yang beli sauce balado 1 mangkok. Lah, saya ragu mo kasi bawang goreng apa ga. Jadi waktu mo nganter saya tanya “use fried onion or not?” cewek nepal malah jawabnya “number 70”. Sekali lagi lah saya tanya sambil saya tunjukin tangan saya yang udah megang bawang goreng, “use fried onion or not?” Hehehe, udah tau kan apa yang terjadi, gongong lah dia “NUMBER 70”. Ya berhubung saya juga udah (bukan “lagi”) PMS sama cewek ini, saya teriakin lagi “USE FRIED ONION OR NOT?” Akhirnya dia baru sadar apa yang saya tanyain, “Yes” sambil nunjukin gerakan2 yang memberi isyarat kalo bawang gorengnya taro aja di saos baladonya.

Awalnya saya kira saya aja yang mangkel sama cewek nepal satu ini jadi saya bingung harus mengadu pada siapa (halah!). Tapi ternyata belangan ada 3 anak baru lainnya curhat sama saya hal yang sama dan mereka juga gondok sama orang yang sama. Tapi saya yakin gondoknya mereka ga segondok saya. Soalnya saya ketambahan gondok lagi sama cewek nepal ini di luar kerjaan. Jadi ceritanya pulang kerja kebetulan saya liat cewek nepal ini di platform (tempet nunggu kereta) yang sama Cuma beda kereta dan saya yakin dia liat saya juga, wong jaraknya kira2 Cuma 2 meter. Ya, sebagai orang Indonesia yang dikenal ramah, penuh sopan santun dan tata krama, senyum lah saya. Yang saya dapetin bukan balasan senyum tapi mukanya dia langsung melengos seolah2 kami ga pernah kenal. Kalo kejadiannya Cuma 1x saya anggep mungkin emang pada waktu itu dia ga liat saya (orang buta doank yang ga bisa liat orang yang dikenal dalam jarak 2 meter). Kejadiannya terulang lagi di hari yang berbeda tapi di platform yang sama. Sekali lagi, mukanya melengos lagi. Aaarrrrggggg... Gedeg deh loe... makanya sejak dari itu saya udah mulai sebel sama dia. Padahal baru aja kenal di tempet kerja, di luar apa harusnya berlagak ga kenal?

Walah, mo cerita kerjaan jadinya malah curcol. Ya, intinya kerjaan saya di sini selain cuci piring saya juga harus mengingat2 puluhan menu yang ada untuk disiapkan. Awalnya kerepotan, kebingungan. Tapi lama2 hapal juga. Tuh, kan apa kata saya. Lama2 juga apal. Ga perlu lah ngajarin orang baru pake otot leher. Kalo mereka tanya ya jawab aja napa? Lama2 juga mereka hapal juga. Oya, selain cuci piring sama nyiap2in makanan, kadang saya disuruh untuk nukerin duit receh ke bank, beli es batu di Don Murphy (toko minumam keras) dan ngambil2in barang2 kebutuhan untuk hari itu dari gudang ke dapur.

$10/jam terlalu kecil buat saya (dan menurut standar aussie juga sebenernya) dan kalo suatu hari nanti perjuangan demokrasi di negara konflik ini berhasil, mereka harus tau bahwa ada tetes keringat saya juga tuh di perjuangan demokrasi mereka. Gara2 saya mau dibayar murah, kalian jadi bisa dikirimin dana besar di sana... Hehehe, ungkapan hati seorang tukang cuci piring...

Minggu, 05 Juni 2011

Mr. Barista

Sabtu kemaren dengan sedikit kecewa terpaksa ga bisa jalan2 dikarenakan Kristina harus menajalani kursus Age Care, kursus yang mempelajari tentang gimana cara ngurusin anak2 atau orang tua (manula), dari yang masih bisa ngurus diri sendiri dan masih nyambung diajak ngomong (Low Care) sampe yang udah Alzeimer, yang kalo mo kencing aja dia lupa harus gimana dan kemana (High Care). Bahkan kata Kristina ada manula yang udah sangkin pikunnya bilangnya mo mandi, tapi waktu sampe depan shower dia malah boker... Hahaha, pengalaman bagus deh buat Kristina, saya aja belom pernah liat orang boker sambil berdiri, di depan shower lagi... ;p Kursus ini memakan waktu kira2 8 – 12 minggu. Karena Cuma hari sabtu aja kursusnya jadinya terpaksa deh mengorbankan waktu jalan2.

Gaji yang saya dapatkan sekarang adalah $10/jam. Kalo nanti Kristina udah lulus dan bisa pake sertifikatnya itu untuk cari kerja, kurang lebih gajinya di atas $18/jam. Jadi saya berpikir untuk ikut juga kursus ini demi dapetin penghasilan yang lebih besar. Cuma kok lama banget ya harus melewati kursusnya 8 – 12 minggu, udah gitu biaya kursus yang ga kecil lagi, $750 (walaupun bisa dicicil 3x).

Berhubung Kristina lebih doyan internetan ketimbang saya, maksudnya lebih seneng browsing2 gitu, dia nemuin 1 kursus yang sepertinya cocok buat saya, selain itu lebih murah dan cepet. Kursus yang dimaksud adalah kursus Barista, kursus yang mempelajari tentang bagaimana membuat kopi berkualitas, mengoperasikan mesin kopi, sampe menggambar di atas kopi (coffee art). Kalo pernah beli capucino di mall2 atau di cafe2 yang jualan kopi gitu, kan ada tuh yang ada gambar “Hati” di atas kopinya, atau mungkin corak2 lain seperti bunga2 gitu. Nah, kursus gituan tuh yang saya ambil akhirnya.

Ga mutu ya... Kaya gitu aja harus kursus. Di Indo mana ada sekolah yang ngajarin Coffee Art buat jadi profesional barista? Kayanya di Indo kalo mo bisa Coffee Art ya dapetnya dari pengalaman kerja kali ya, misal kerja di cafe2 gitu. Ya, susah juga sih, namanya juga negara berkembang, segala macam seni pastinya kurang bisa dihargai, jadinya ga bisa menghasilkan duit. Padahal di Indo banyak banget orang2 yang kreatip dan ide2 nya itu justru orisinil dan bikin dalam hati mo bilang, kok bisa ya kepikiran untuk bikin gitu? Bukti nyata kalo di Indo seni kurang dihargai adalah pemerintah ga mau memberantas pembajakan lagu. Kebetulan seni yang lebih berkembang di Indo adalah di bidang musik, harusnya mereka para anak band seperti Piterpan, Gigi, ataupun para solo karir udah jadi miliarder kalo pemerintahnya mau memberantas pembajakan. Menurut saya pemerintah memang ga mau kok memberantas pembajakan entah karena alasan apa, tapi yang pasti pemerintah Indo itu ga jelek kok, mereka bisa apapun, asalkan ada “bensin”nya (uang). Buktinya Nurdin M. Top aja bisa ketawan kok ada di mana. Kalo teroris aja bisa ketemu, masa Cuma pemberantasan pembajakan lagu ga bisa? Teroris kan permasalahan internasional, lebih luas, sementara pembajakan Cuma masalah domestik. O, saya baru kepikiran, jangan2 pemerintah enggan memberantasnya karena takut tingkat pengangguran di Indo meningkat, jadi memberi kesan buruk untuk pemimpin yang pada waktu itu berkuasa. Ya, mungkin aja, ini kan pemikiran orang tolol yang ga ngerti politik dan ilmu berkelat-kelit sekaligus jilat-jilit (halah, maksa biar pas nadanya!).

Akhirnya sabtu kemaren saya ambil deh kursus Barista yang Kristina sarankan karena menurut dia saya ada jiwa seni jadi cocok untuk kerjaan kaya gitu yang membutuhkan kesempurnaan. Hahaha... Kristina belom tau aja, saya bukan sekedar ada jiwa seni tapi lebih dari itu. Misalnya aja disuruh ngegambar Cinta Laura, jadinya pasti mirip... (mpok Nori). Jadi sabtu kemaren dari jam 10.30 – 16.00 saya ada di 593 Elizabeth Street,  gedung tempet belajar bikin kopi dari yang masih berbiji sampe jadi ada gambar2nya di atas cangkirnya.

Jadi kursusnya ada 2 level. Level 1, mempelajari tentang gimana caranya bikin kopi enak. Banyak informasi2 baru yang saya dapetin dari level 1 ini. Selain diajarin cara mengoperasikan blender kopi (untuk ngeblender kopi yang masih biji jadi bubuk kopi), terus mengoperasikan mesin kopi dari yang semi manual sampe yang otomatis yang berfungsi untuk mengekstrak bubuk kopi menjadi kopi cair yang siap diminum atau dimodifikasi, dan saya baru tau kalo ternyata kopi itu ada minyaknya. Jadi waktu kita bikin kopi kan suka ada tuh busa2 warna coklat di atas permukaan kopi yang siap disruput. Nah, itu berasal dari minyak yang terkandung di dalam biji kopi, namanya Crema. Ternyata semakin banyak Crema semakin bagus kualitas kopinya. Kata Ricardo (si trainer) kopi terbaik saat ini adalah Arabica, sementara kopi yang kualitasnya paling rendah namanya Robusta.

Untuk bisa dapetin hasil ekstrak kopi yang paling bagus, paling enak dan cremanya paling maksimal adalah dengan cara setiap 30 ml (+/- 1 sendok makan) bubuk kopi hanya bisa diekstrak selama kira2 25 detik. Dalam waktu 25 detik itu, kopi bubuk yang lagi diekstrak tersebut akan ngocor secara perlahan dari mesin kopi ke cangkir/mug yang udah kita persiapkan untuk penyajian. Jadi dalam waktu 25 detik kopi cair yang dihasilkan paling2 hanya 1/3 cangkir. Selanjutnya kalo mo bikin kopi lagi, sisa kopi bekas ekstrakan pertama tadi langsung dibuang. Padahal saya pernah coba iseng2 ekstrak lagi, warna kopinya masih item ngeletek lho, tapi memang cremanya udah dikit banget, beda dari yang pertama.

Kopi nya Cuma 1/3 cangkir, 2/3 diisi apa donk? Air panas? Hahaha... jelas nggak. Karena kalo ditambah air, kualitas kopinya jadi jelek, ga kentel. 2/3 nya bisa diisi susu atau foam dari susu. 2/3 nya inilah yang menurut saya paling sulit untuk dibikin. Jadi untuk bikin susu yang dicampur dengan kopi, susunya harus dingin. Masukin susu cair ke teko stainless steel. Abis itu steam pake tangkai besi yang ada di mesin kopi, biasanya tangkai besinya itu ada di sebelah kiri. Yang bikin susah adalah pada waktu manasin susunya itu, kita harus nemuin “Magic Sound”nya supaya hasil susunya sempurna dan bisa dipake untuk campuran kopi. Nah, magic sound nya itu sendiri sebenernya bisa ditemukan kalo ujung pangkal dari tangkai besi steam berada di tengah2 susu, ga terlalu deket ke permukaan, tapi ga terlalu dalam mendekati dasar teko. Untuk bisa tau posisi ujung pangkalnya itu udah pas atau belon, kita tinggal denngerin aja suaranya. Kalo terlalu dalem, bunyinya kaya orang teriak, makanya disebutnya screaming sound. Tapi kalo terlalu mendekati permukaan susu, susunya bakalan muncrat kemana2. Nah, magic sound itu sendiri bunyinya seperti ini: “crot, crot, crot, crot, crot, crot...” (maaf, ga tau gimana bilangnya dalam kata2, pokoknya mirip2 gitu deh bunyinya).

Selama kursus berlangsung, entah udah berapa banyak itu kopi dibuang2 gitu aja, padahal kan masih bisa dibikin kopi tuh. Padahal kalo di Indo minum kopi mana mikirin itu ada cremanya apa kagak. Malah yang saya sering liat kopi mama saya (kebetulan mama saya pecandu kopi) seringnya kaya kopi hasil ekstrakan ke-2 yang saya coba iseng2 bikin tadi. Padahal merek kopi mama saya terkenal di Indo. Apa jangan2 kopi buangan dari sini, dibeli sama pabrik kopi di Indo ya? Kalo sampe iya, ya ampun, kualitas no.1 nya orang sini yang nikmatin, kualitas buangannya orang Indo yang pake. Aduuuh, kasian mamaku...

Jadi sepertinya saya bayar $199 untuk level 1 dan 2 memang untuk bayar kopi dan susu untuk dibuang2in gitu kayanya. Kalo susu, saya sendiri ngabisin 6 liter, dan itupun masih belom mahir untuk bisa dapetin susu cair berkualitas yang cocok untuk dicampur kopi. Bener2 di luar dugaan kursus ini. Kirain saya bikin espresso atau capucino semudah membalik telapak tangan. Taunya, ya olloh... Susah banget, bikin gregetan. Tapi saya bener2 penasaran, jadi mo kerja di tempet restoran kopi, biar ada kesempatan untuk belajar bikin kopinya sampe sempurna.

Di level 2 ini khusus untuk mempelajari art nya aja. Dari bikin lope2, bunga, sampe gambar daun ataupun patern2 gitu. Di level 2 ini tambah banyak lagi kopi sama susu yang dibuang2. Karena tujuannya kan kopinya mo digambar pake tusuk gigi. Tapi gimana bisa digambar kalo kualitas kopinya aja jelek alias masih encer. Jadi, belom sempet ngegambar kopinya terpaksa dibuang. Bikin lagi eh encer lagi. Waduh, ngeliatnya aja sayang banget, dibuang2 melulu. Tapi ya mo gimana lagi demi dapetin skill, lagi pula udah bayar mahal untuk kopi n susunya kan. Alhasil saya berhasil bikin kopi dengan gambar 3 hati saling berkejaran. Yang kedua saya bisa bikin gambar daun semanggi (four clover).

Ya walaupun belom mahir minimal saya udah ada pengalaman lah buat bikin kopi walaupun Cuma 5 jam doank. Kira2 ada ga ya hotel atau restoran yang mo nerima saya untuk bikin kopi? Hihihi... paling2 kopi encer terus nanti yang saya kasi ke konsumen. Oya, buat info lebih lanjut silahkan liat web berikut ini www.coffeeshcool.com.au karena dari sini informasinya saya dapatin sampe akhirnya saya memutuskan untuk ambil kursus ini.

Rabu, 01 Juni 2011

Si A dan Si B

Alkisah hiduplah 2 orang gadis yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan saja dan mereka bersepupuan satu sama lain (ibu mereka kakak beradik). Yang pertama namanya A, termasuknya hidup dengan berkecukupan dan sepertinya jarang sekali ada masalah dengan keuangan. Buktinya saat ini A (anak ke-4 dari 5 bersaudara) sedang menjalani kuliahnya di bidang Administrasi dan Umum yang kalo lulus nanti kerjaannya adalah Sekretaris dan kakak2 A pun sebenernya sempet mengecap bangku kuliah sayangnya mereka ga sampe lulus. Intinya uang orang tuanya Cuma keluar melulu tapi hasilnya ga ada.

Sementara itu diwaktu yang sama, B (anak ke-5 dari 5 bersaudara) justru malah berkutat dengan problem nya yang ga bisa kuliah sementara temen2 sekolahnya yang lain kuliah semua karena keluarganya ga punya duit untuk nguliahin dia. Karenanya A harus bekerja dan mengumpulkan uang sendiri untuk kuliah yang dia inginkan. Atau lebih tepatnya kuliah yang jurusannya gampang cari kerja.

Umur mereka saat ini kurang lebih 20 tahun dimana umur2 segitu adalah masa2 puber, masa2 pencarian jati diri, masa2 dimana mereka lagi tertarik sama lawan jenis dan pengen punya hubungan yang berkesan. Itu pula yang dialami A dan B.

Pada saat A “perang2an” status di facebook, putus sama si inilah, atau bikin kata2 puitis yang menyatakan tentang perasaannya saat itu ditengah kesibukan kuliahnya, B justru masih pusing ngumpulin duit untuk kuliahnya ditengah kesibukannya bekerja.

Pada saat A udah start mengejar masa depannya, B justru masih bingung apakah dia akan kuliah atau nggak tahun depan, atau malah masih harus bekerja lagi untuk ngumpulin duit karena kebutuhan rumah jauh dari cukup.

Pada saat A butuh perhatian dari orang lain dengan bertindak aneh2 dengan tujuan untuk menarik perhatian, B masih berkutat dengan pekerjaannya memperhatikan orang lain (karena B bekerja di yayasan yang ngurusin orang2 cacat mental).

Pada saat A sibuk berkelit dengan statusnya sebagai selingkuhan, B justru berkelit dengan permasalahannya yang homesick (kangen pulang kampung).

Pada saat A sibuk mencorat coret kulit tangannya dengan pisau hingga berdarah dengan tulisan “SORRY”, B justru sibuk mencorat coret kue cake buatannya yang dijual dengan tulisan “HAPPY BIRTHDAY ELLIOT”

Pertanyaannya:
Seperti apakah mereka 10 tahun mendatang?
Siapakah diantara mereka yang bener2 jadi “orang” nantinya?

Topik kali ini bukan tentang pengalaman saya, tapi ini tentang pandangan saya terhadap 2 makhluk yang berbeda pola pikirnya. Cerita ini adalah kisah nyata yang saya pun belom tau akhir ceritanya. Dimulai dari tanggal postingan ini sampai dengan 10 tahun mendatang, saya bener2 penasaran seperti apa mereka nanti?

A dan B bener2 ada orangnya. Dan penamaan A dan B bukannya sembarangan. Penamaan tersebut saya ambil dari golongan darah mereka.